Nairobi – Aksi demo memperingati 35 tahun gerakan pro-demokrasi “Saba Saba” di Kenya berujung tragis pada Senin (7/7/2025). Polisi menembakkan peluru ke arah pengunjuk rasa di berbagai kota, termasuk ibu kota Nairobi. Kepolisian Kenya mengonfirmasi sedikitnya 11 orang tewas dan 52 petugas luka-luka dalam bentrokan yang berlangsung sepanjang hari itu.
Unjuk rasa ini terpicu oleh kemarahan publik atas kematian Albert Ojwang (31), seorang blogger dan guru, yang meninggal di dalam tahanan polisi bulan lalu. Kasus tersebut telah memicu gelombang demonstrasi nasional, menuntut keadilan dan reformasi institusional terhadap praktik kekerasan oleh aparat.
Di wilayah Kangemi, pinggiran barat Nairobi, seorang reporter Reuters menyaksikan polisi menembaki pengunjuk rasa yang maju mendekat. Seorang pria terlihat tergeletak tak bergerak di jalanan dengan luka tembak menganga. Rumah Sakit Eagle Nursing Home melaporkan menerima enam korban luka, dua di antaranya meninggal akibat tembakan. Sementara itu, Rumah Sakit Nasional Kenyatta juga merawat sedikitnya 24 korban luka.
Dugaan Kekerasan oleh Aparat
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Kenya (KNCHR) menyebutkan bahwa mereka mengamati kehadiran sejumlah pria bertudung tanpa seragam resmi. Mereka menggunakan kendaraan tak bertanda dan turut beroperasi saat demonstrasi. Organisasi tersebut menduga kehadiran aparat berpakaian sipil dan kelompok preman bersenjata cambuk serta parang turut memperburuk situasi. Kondisi ini terutama terlihat di Nairobi dan kota Eldoret yang terletak di Lembah Rift.
“Penggunaan kekerasan oleh aparat dan aktor tak dikenal yang beroperasi bersama polisi sangat mengkhawatirkan,” ujar juru bicara KNCHR.
Perintah pengadilan sebelumnya telah mewajibkan semua aparat yang terlibat dalam operasi keamanan harus dapat diidentifikasi dengan jelas. Hal ini menyusul insiden tahun lalu saat aparat berpakaian sipil menembakkan peluru tajam ke arah massa.
Sejak pagi hari, polisi memblokir jalan-jalan utama menuju Nairobi dan membatasi lalu lintas di pusat kota. Sebagian besar sekolah dan pusat perbelanjaan memilih tutup, sementara pengunjuk rasa tetap berdatangan dengan berjalan kaki.
Di kota Nakuru, Nyeri, dan Embu, aksi serupa juga terjadi. Di Nakuru, polisi berkuda membubarkan kerumunan dengan gas air mata setelah massa melempari batu.
Peringatan “Saba Saba” dan Janji Pemerintah
Aksi tahunan “Saba Saba” yang berarti “Tujuh Tujuh” dalam bahasa Kiswahili merujuk pada tanggal 7 Juli, hari bersejarah ketika gerakan oposisi pertama melawan rezim otoriter Daniel Arap Moi dimulai pada 1990. Gerakan ini membuka jalan bagi pemilu multipartai pertama Kenya dua tahun kemudian.
Menteri Dalam Negeri Kipchumba Murkomen, yang sebelumnya menyebut protes sebagai “terorisme yang menyamar sebagai unjuk rasa,” mengatakan bahwa pemerintah akan “menindak tegas” para pelaku kekacauan.
“Petugas kami siaga penuh untuk melindungi warga dan properti dari elemen-elemen yang mencoba menyusupi aksi damai,” ujarnya dalam pernyataan resmi.
Namun, laporan lapangan dan kematian warga sipil justru memperdalam jurang ketidakpercayaan antara masyarakat dan aparat keamanan.
Kasus Ojwang dan Tuntutan Keadilan
Albert Ojwang menjadi simbol perlawanan setelah ditemukan tewas dalam tahanan pada Juni lalu. Demonstrasi nasional meletus pada 25 Juni, menandai satu tahun aksi besar-besaran yang pernah berujung pada penyerbuan gedung parlemen Kenya.
Enam orang, termasuk tiga polisi, telah didakwa atas kematian Ojwang. Semuanya mengaku tidak bersalah dan masih menjalani proses hukum.
Ketegangan antara rakyat dan pemerintah terus meningkat seiring dengan sorotan internasional atas pelanggaran HAM dan penyalahgunaan kekuasaan di Kenya. Para aktivis memperingatkan, tanpa reformasi menyeluruh terhadap aparat keamanan, siklus kekerasan ini akan terus berulang.












