Menu

Mode Gelap
Dua Terduga Pelaku Penembakan WN Australia di Bali Ditangkap Amerika Serikat Ancam Terbitkan 36 Travel Ban Baru Israel Serang Fasilitas Nuklir Iran Air India Jatuh: Lebih dari 240 Tewas, Satu Penumpang Selamat Ayah Farel Prayoga Ditangkap Polisi karena Judi Online! Penembakan di Sekolah Austria Tewaskan 10 Orang, Pelaku Bunuh Diri

Features

Biskuit atau Rengginang: Plot Twist Terbesar di Hari Raya

badge-check


					Biskuit atau Rengginang: Plot Twist Terbesar di Hari Raya Perbesar

Elmedia – Saya pernah tertipu. Berkali-kali. Dan saya tidak sendiri.

Waktu kecil dulu, Lebaran adalah hari penuh harapan. Salah satunya: harapan menemukan kaleng biskuit yang benar-benar berisi biskuit. Kalengnya cantik. Gambar di luarnya menggoda. Kalau bukan gambar biskuit mentega, ya foto keluarga bangsawan Inggris sedang pesta teh. Tapi begitu dibuka…

Isinya: rengginang.

Atau peyek.

Kadang kerupuk udang. Pernah juga nemu bawang goreng.

Itulah salah satu drama tahunan yang terjadi di banyak rumah Indonesia. Sebuah plot twist yang sudah jadi warisan turun-temurun. Dan herannya: kita tetap berharap. Tetap penasaran. Tetap membuka kaleng itu dengan optimisme tinggi.

Ini bukan hanya soal biskuit. Bukan hanya soal makanan. Ini tentang ekspektasi dan realita. Tentang bagaimana hidup sering kali membungkus hal-hal biasa dalam kemasan yang luar biasa. Kaleng yang elegan, mengilap, dan mahal itu ternyata hanya rumah sementara bagi camilan kampung yang lebih murah, lebih renyah, dan—ironisnya—lebih tahan lama.

Kaleng-kaleng biskuit itu memang menarik. Desainnya mewah. Materialnya kokoh. Dulu—dan sekarang pun masih—kaleng-kaleng itu tidak hanya menyimpan makanan. Ia menyimpan harapan. Dan dalam banyak kasus: kekecewaan.

Tapi siapa yang menyangka, di balik rasa kecewa itu, ada tawa. Ada canda. Ada cerita. Bahkan ada kehangatan keluarga. Anak-anak tertawa geli. Orang tua ikut tersenyum. “Dikira biskuit, ya?” kata ibu, sambil menggoreng peyek baru.

Budaya ini adalah bagian dari reuse culture yang sangat Indonesia. Kita tidak suka membuang. Apalagi kalau masih bisa dipakai. Kaleng biskuit, dengan tubuh logamnya yang kokoh dan kedap udara, adalah kandidat sempurna untuk jadi wadah cadangan. Bisa untuk kerupuk. Bisa untuk teh. Bisa juga—kalau darurat—jadi tempat benang jahit.

Ada kejeniusan dalam hal itu. Masyarakat kita hemat bukan karena pelit. Tapi karena kreatif. Karena terbiasa beradaptasi. Karena paham bahwa nilai sebuah barang tidak hanya ditentukan oleh isinya, tapi juga oleh potensinya.

Maka jangan heran jika di satu rumah bisa ditemukan satu kaleng yang sama selama lima hingga sepuluh tahun. Daur hidupnya panjang. Mungkin dulunya tempat biskuit. Lalu pindah ke rengginang. Lalu jadi tempat kancing. Akhirnya pensiun sebagai kotak P3K darurat.

Lebaran adalah momen ketika semua budaya ini muncul ke permukaan. Tradisi membuka kaleng biskuit adalah tradisi yang tak tertulis, namun selalu dijalani. Setiap tamu yang datang, entah disuguhi sirup merah, entah kue kering, dan—tentu saja—sebuah kaleng misterius yang selalu menarik perhatian.

“Boleh buka?” tanya tamu.

“Silakan,” jawab tuan rumah, sambil tersenyum penuh makna.

Tamu membuka tutupnya perlahan. Hening sesaat. Lalu tawa pecah.

“Rengginang toh!” katanya.

Satu momen kecil. Tapi menyatukan. Mencairkan suasana. Jadi bahan cerita bertahun-tahun.

Fenomena ini juga membuktikan bahwa kita, masyarakat Indonesia, punya sense of humor yang tinggi. Kita tidak marah karena merasa ditipu. Kita malah menjadikan itu candaan. Kita potret, kita unggah ke media sosial, dan kita biarkan menjadi bahan meme yang viral.

“Trust issues dimulai dari sini,” tulis satu akun Instagram, dengan foto kaleng Khong Guan yang isinya… rempeyek.

Generasi muda pun ikut-ikutan. Mereka sudah tahu isinya bukan biskuit. Tapi tetap membuka, tetap penasaran, tetap ingin membuktikan.

Mungkin karena kita memang suka kejutan.

Saya pernah bertanya pada seorang ibu rumah tangga, kenapa ia menyimpan rengginang di kaleng biskuit. Jawabannya sederhana: “Biar tetap renyah.”

Logis. Kaleng logam memang lebih kedap udara dibanding plastik. Tidak tembus cahaya. Tidak mudah penyok. Dan—kalau dilihat dari sudut pandang fungsional—lebih elegan saat disuguhkan ke tamu.

“Masa taruh di toples plastik? Jelek,” katanya sambil tertawa.

Ada logika estetika di sana. Bahwa makanan kampung pun pantas disajikan dalam kemasan bangsawan. Dan tidak ada yang salah dengan itu. Justru memperlihatkan bahwa kita menghargai setiap makanan, apapun bentuk dan harganya.

Tapi tentu, tidak semua orang bisa menerima kenyataan ini dengan lapang dada. Beberapa anak—yang baru pertama kali mengalami prank kaleng biskuit—terlihat sedih. Kecewa. Bahkan menangis.

Saya pernah lihat seorang bocah berusia enam tahun yang duduk termenung di pojokan. Di pangkuannya: sebuah kaleng besar dengan gambar biskuit. Wajahnya bingung. Tangannya memegang sepotong rengginang. Tidak tahu harus bahagia atau kecewa.

Mungkin saat itu ia sedang belajar salah satu pelajaran hidup pertama: tidak semua yang indah di luar, sama indahnya di dalam.

Dan itu pelajaran yang penting.

Hari ini, kaleng biskuit isi rengginang bukan lagi sekadar kejutan. Ia sudah jadi budaya. Sudah jadi bagian dari folklore modern Indonesia. Ia hadir di meme. Ia dibahas di X (dulu Twitter). Dijadikan punchline di TikTok. Bahkan muncul di acara stand-up comedy.

Ada yang membuat lagu tentangnya. Ada pula yang menjadikannya bagian dari parodi Lebaran.

Siapa sangka, sesuatu yang sederhana bisa begitu dalam pengaruhnya.

Di era modern ini, ketika semuanya serba instan dan cepat, tradisi kecil seperti ini menjadi semacam jangkar. Sesuatu yang mengingatkan kita pada masa lalu. Pada rumah nenek. Pada suara panci dari dapur. Pada aroma kue kering dan opor ayam.

Kaleng itu bukan hanya tempat menyimpan rengginang. Ia menyimpan kenangan. Ia menyimpan tawa. Ia menyimpan rasa kangen yang kadang sulit dijelaskan.

Dan tiap kali kita membuka tutupnya, kita membuka lebih dari sekadar isi.

Kita membuka bab kecil dari kehidupan yang sudah lama lewat, tapi masih hangat dalam ingatan.

Jadi lain kali, saat Anda melihat sebuah kaleng biskuit di atas meja ruang tamu, jangan langsung berharap isinya sesuai gambar.

Tapi bukalah dengan hati yang siap. Siapa tahu, isinya lebih renyah dari ekspektasi Anda.

Dan lebih penting dari itu: isinya lebih kaya cerita.

Selamat Lebaran. Selamat tertipu.

Dan selamat menikmati rengginang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Trans Jatim Koridor 5: Rp5.000 ke Bebek Sinjai dan Makam KH Cholil

11 Juni 2025 - 12:30 WIB

Cuma Rp5.000, naik Trans Jatim Koridor 5 dari Surabaya ke Bangkalan: wisata kuliner Bebek Sinjai dan ziarah ke Makam Kiai Cholil.

Solo Leveling Jadi Anime of the Year 2025: Kritik dan Kontroversi

6 Juni 2025 - 07:20 WIB

Solo Leveling menang Anime of the Year 2025 di Crunchyroll Awards. Kualitas atau cuma kekuatan fanbase? Ini ulasannya.

Lima Praktik Hukum Paling Kejam di Dunia, Dunia Internasional Soroti Praktik Pelanggaran HAM

7 Mei 2025 - 16:03 WIB

Lima Praktik Hukum Paling Kejam di Dunia

8 Pilihan Wisata Menakjubkan di Banyuwangi untuk Long Weekend bulan Mei: Jangan Lewatkan Green Island yang Memukau!

1 Mei 2025 - 14:36 WIB

Sensor Sidik Jari di Ponsel: Mana yang Terbaik?

29 April 2025 - 17:00 WIB

Sensor sidik jari HP
Trending di Features