LOS ANGELES, 19 Oktober 2025 – Proyek film besar seperti Star Wars: Starfighter tengah digarap di Inggris, studio di Hungaria penuh sesak, dan rumah pascaproduksi di Australia sibuk bekerja. Di balik semua itu, industri film global tetap berputar meski Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali melontarkan ancaman untuk mengenakan tarif tinggi pada film yang diproduksi di luar negeri.
Trump berencana memberlakukan tarif hingga 100 persen terhadap film produksi luar negeri. Tujuannya, menurut dia, untuk mencegah “kematian cepat” industri film Amerika akibat banyaknya rumah produksi yang berpindah ke luar negeri demi insentif pajak dan biaya produksi lebih murah.
Ancaman serupa pernah disampaikan pada Mei lalu, yang saat itu mengguncang dunia perfilman dan membuat sejumlah proyek serta kesepakatan pembiayaan internasional tertunda. Namun, kali ini reaksi pelaku industri jauh lebih tenang.
“Selain sedikit kehebohan awal, orang-orang tidak terlalu menanggapinya serius seperti dulu,” kata Lee Stone. Ia adalah mitra di firma hukum Lee & Thompson London yang terlibat dalam produksi serial pemenang Emmy, Adolescence.
Produksi Global Tetap Mendominasi
Data terbaru dari lembaga riset industri ProdPro menunjukkan bahwa meski total belanja produksi turun 15 persen dari tahun lalu, belum ada tanda-tanda bahwa Hollywood meninggalkan lokasi syuting di luar negeri.
“Kami tidak melihat bukti bahwa studio memilih lebih banyak syuting di AS karena takut tarif,” ujar CEO ProdPro, Alexander LoVerde.
Selama 12 bulan terakhir, AS mencatat belanja produksi sebesar US$16,6 miliar, sementara produksi film dan serial di luar negeri justru mencapai US$24,3 miliar. Inggris menjadi penerima manfaat terbesar, dengan investasi US$8,7 miliar, diikuti Kanada US$6,4 miliar. Negara lain seperti Australia, Irlandia, Hungaria, dan Spanyol bersama-sama menyumbang hampir seperempat total produksi dunia.
Pandemi dan Mogok Aktor Dorong Produksi ke Luar Negeri
Menurut Kirsten Stevens, pakar film dari University of Melbourne, pandemi COVID-19 dan mogok kerja para penulis serta aktor di Hollywood mempercepat arus produksi ke luar negeri.
“Di Queensland, Australia sempat menjadi ‘gelembung produksi’ ketika hampir seluruh dunia berhenti,” ujarnya.
Beberapa negara juga meningkatkan insentif untuk menarik proyek besar. Republik Ceko menaikkan potongan pajak dari 20 menjadi 25 persen, sementara Inggris memberikan insentif hingga 25,5 persen untuk film dan serial, serta tambahan kredit bagi film independen.
Hungaria menjadi salah satu magnet utama. “Studio di sini beroperasi penuh dengan produksi internasional dan domestik,” kata Csaba Kael, komisaris pemerintah untuk pengembangan industri film Hungaria.
Produksi 24 Jam Sehari
Bagi banyak studio besar, membagi pekerjaan di berbagai zona waktu justru mempercepat proses produksi. “Tidak jarang film besar dikerjakan secara simultan di Australia, Selandia Baru, London, dan tempat lain,” ujar Mike Seymour. Dia adalah pakar efek visual dari University of Sydney.
“Produksi bisa berjalan 24 jam tanpa henti,” sambungnya.
Industri Dorong Insentif, Bukan Tarif
Meski begitu, pelaku industri tetap khawatir akan ketidakpastian. “Industri film tidak suka ketidakpastian. Sekali ragu, proyek bisa langsung berhenti,” kata pengacara hiburan Stephen Weizenecker dari Barnes & Thornburg, Atlanta.
Koalisi serikat pekerja film AS bersama aktor senior Jon Voight mendesak Trump agar mempertimbangkan pemberian insentif pajak nasional ketimbang memberlakukan tarif.
Rancangan undang-undang bipartisan bertajuk CREATE Act juga telah diajukan ke Kongres AS musim panas lalu. Undang-undang ini bertujuan memperpanjang dan memperluas potongan pajak untuk produksi domestik.
Namun, ancaman tarif Trump tetap menjadi bayang-bayang. “Jika itu benar-benar terjadi, dampaknya akan luar biasa,” kata seorang seniman visual yang enggan disebutkan namanya. “Bisa jadi bencana bagi ribuan pekerja film di seluruh dunia.”












