Jenewa – Amerika Serikat dan China akhirnya mencapai kesepakatan penting dalam konflik dagang berkepanjangan yang selama ini mengganggu perekonomian global. Kedua negara sepakat untuk menurunkan tarif impor secara signifikan terhadap sejumlah komoditas utama, menandai berakhirnya fase paling intens dari perang dagang yang dipicu pemerintahan Presiden Donald Trump.
Dalam kesepakatan yang diumumkan secara bersamaan oleh Washington dan Beijing, kedua negara menyatakan akan membatalkan sebagian tarif yang sempat diberlakukan, serta menangguhkan sebagian lainnya selama 90 hari, terhitung mulai 14 Mei mendatang.
Tarif impor Amerika Serikat terhadap produk Tiongkok akan turun drastis dari 145 persen menjadi 30 persen. Sementara itu, tarif Tiongkok atas barang-barang asal AS akan dipangkas dari 125 persen menjadi 10 persen. Selain itu, Tiongkok juga akan mencabut kebijakan pembatasan ekspor mineral penting ke AS, sebuah langkah balasan non-tarif yang sebelumnya diberlakukan menyusul eskalasi konflik.
Meski begitu, AS masih mempertahankan tambahan tarif 20 persen atas produk tertentu sebagai tekanan kepada Tiongkok agar meningkatkan upaya pemberantasan perdagangan ilegal fentanyl—obat opioid mematikan yang menjadi perhatian utama otoritas kesehatan di AS.
Pengumuman ini disampaikan usai pertemuan bilateral yang berlangsung di Swiss. Pertemuan adalah dialog resmi pertama antara kedua negara sejak perang tarif kembali memanas awal tahun ini.
Tarif Impor Turun, Apa Selanjutnya?
Meski kesepakatan ini disambut luas sebagai langkah positif, masa depan hubungan dagang AS-Tiongkok masih belum sepenuhnya jelas. Jika pembicaraan tidak menghasilkan kesepakatan lanjutan, tarif yang saat ini ditangguhkan bisa diberlakukan kembali. Namun demikian, karena sebagian besar bea masuk yang dikenakan pasca Liberation Day telah dibatalkan, tarif AS terhadap Tiongkok diperkirakan hanya akan naik hingga 54 persen, dan tarif Tiongkok terhadap AS sebesar 34 persen.
Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, menyatakan bahwa kedua belah pihak sepakat untuk menghindari pemisahan ekonomi total (decoupling). Sementara itu, Kementerian Perdagangan Tiongkok menyebut kesepakatan ini sebagai “langkah penting untuk mempersempit perbedaan dan memperdalam kerja sama.”
Saling Bergantung
Volume perdagangan antara AS dan Tiongkok sangat besar dan mencakup beragam sektor. Pada tahun 2024, komoditas utama yang diekspor AS ke Tiongkok adalah kedelai—yang menjadi sumber pangan utama bagi sekitar 440 juta babi di Tiongkok. Selain itu, AS juga mengekspor produk farmasi dan minyak bumi.
Sebaliknya, Tiongkok mengekspor produk elektronik, komputer, dan mainan ke AS. Termasuk iPhone yang menjadi komoditas terbesar, mencakup sekitar 9 persen dari total ekspor ke AS.
Namun, ketidakseimbangan perdagangan menjadi sumber ketegangan utama. AS mencatatkan defisit besar, dengan nilai impor dari Tiongkok mencapai 440 miliar dollar AS. Sementara itu, ekspor ke negara tersebut hanya sekitar 145 miliar dollar AS. Ketimpangan inilah yang menjadi dasar kebijakan tarif tinggi yang digulirkan Presiden Trump, sebagai upaya mendorong konsumsi produk dalam negeri dan meningkatkan sektor manufaktur.
Pasar global merespons positif kesepakatan ini. Saham perusahaan pelayaran besar dunia melonjak, seiring harapan akan meningkatnya kembali volume perdagangan lintas Samudra Pasifik yang sebelumnya anjlok akibat perang dagang.
Siapa Pemenangnya?
Meskipun disebut sebagai kesepakatan bersama, kedua belah pihak mulai mengklaim kemenangan politik. Pihak Gedung Putih menyatakan bahwa perjanjian ini menunjukkan keahlian Presiden Trump dalam mencapai kesepakatan yang menguntungkan rakyat AS.
Namun, analis di Beijing melihat hal berbeda. Menurut Janka Oertel, Direktur Program Asia di Dewan Hubungan Luar Negeri Eropa, kesepakatan ini bisa dilihat sebagai langkah mundur Washington. “Kita kembali ke titik awal. Negosiasi baru bisa dimulai. Hasil akhirnya belum pasti, namun posisi psikologis Tiongkok kini lebih kuat dari sebelumnya,” katanya.
Sementara itu, ekonom Deutsche Bank menilai bahwa penurunan tarif ini, serta kesepakatan serupa pekan lalu antara AS dan Inggris, menjadi batas bawah dan atas bagi tarif AS ke depan.
“Inggris punya hubungan perdagangan paling seimbang dengan AS, dengan tarif universal 10 persen. Sementara Tiongkok, yang paling tidak seimbang, kini mendapat tarif 30 persen. Angka-angka ini mungkin menjadi patokan bagi kebijakan tarif AS tahun ini,” ujar George Saravelos, Kepala Riset Valuta Asing Deutsche Bank.