Washington – Pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dikabarkan tengah mempertimbangkan untuk pertama kalinya mendeportasi para migran ke Libya. Langkah tersebut menjadi bagian dari kebijakan pengetatan imigrasi yang telah digencarkan Gedung Putih sejak awal masa jabatan Trump.
Tiga pejabat AS pada hari Selasa (6/5/2025), menyatakan bahwa deportasi bisa dimulai dalam pekan ini, bahkan secepat-cepatnya pada Rabu. Dua di antara mereka menyebut bahwa militer AS kemungkinan akan dikerahkan untuk memfasilitasi pemindahan migran ke negara di Afrika Utara itu. Namun, mereka menekankan bahwa rencana tersebut masih dapat berubah sewaktu-waktu.
Pentagon menolak memberikan pernyataan dan mengarahkan pertanyaan kepada Gedung Putih. Sementara itu, pihak Gedung Putih, Departemen Luar Negeri, serta Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS) belum memberikan tanggapan resmi atas laporan tersebut.
Rencana yang Belum Jelas
Hingga kini, belum diketahui berapa jumlah migran yang akan di deportasi ke Libya maupun apa kewarganegaraan mereka. Kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran mengingat laporan tahunan Departemen Luar Negeri AS sebelumnya mengecam kondisi penahanan di Libya yang digambarkan “keras dan mengancam jiwa”, serta penuh dengan praktik “penahanan sewenang-wenang”.
Sejak menjabat, Presiden Trump menjadikan isu imigrasi sebagai agenda utama pemerintahannya. Ia telah mengerahkan pasukan ke perbatasan selatan dan berjanji akan mendeportasi jutaan migran ilegal. Selain itu, ia juga menerapkan berbagai kebijakan agresif untuk mendorong pengembalian migran, termasuk denda berat serta pencabutan status hukum.
Menurut data DHS hingga Senin, pemerintah AS telah mendeportasi sekitar 152.000 orang sepanjang tahun ini.
Pekan lalu, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio menyatakan bahwa pemerintah tidak puas hanya dengan mengirim migran ke El Salvador. Dalam sebuah rapat kabinet di Gedung Putih, Rubio menyebut pihaknya sedang menjajaki lebih banyak negara tujuan deportasi.
“Kami bekerja sama dengan negara-negara lain untuk mengatakan: kami ingin mengirim beberapa penjahat, maukah kalian menerimanya sebagai jasa bagi kami?” ujar Rubio. “Semakin jauh dari Amerika, semakin baik.”
Seorang pejabat AS lainnya mengatakan bahwa Libya termasuk dalam daftar negara yang sedang dievaluasi dalam beberapa pekan terakhir. Namun, tidak jelas apakah Washington telah mencapai kesepakatan dengan otoritas Libya untuk menerima deportan, terutama yang bukan warga negara Libya.
Kondisi Libya Tidak Stabil
Kondisi Libya sendiri masih jauh dari stabil sejak pergolakan pada 2011 yang menggulingkan Muammar Khadafi. Sejak 2014, negara itu terpecah menjadi dua pemerintahan saingan: satu berbasis di Tripoli di bawah Perdana Menteri Abdulhamid al-Dbeibah, yang dibentuk melalui proses yang didukung PBB pada 2021, dan satu lagi di Benghazi yang tidak mengakui pemerintahan Tripoli.
Sementara itu, Mahkamah Agung AS pada 19 April lalu sempat mengeluarkan putusan sementara yang melarang deportasi sekelompok migran asal Venezuela yang dituduh sebagai anggota geng. Pemerintahan Trump mendorong Mahkamah mencabut atau mempersempit larangan tersebut, dengan mengutip Undang-Undang masa perang yang jarang digunakan.
Belum diketahui secara pasti proses hukum apa yang akan diterapkan terhadap para migran menjelang kemungkinan deportasi ke Libya.