Surin – Bentrokan senjata di perbatasan Thailand dan Kamboja belum mereda, kedua negara kembali terlibat baku tembak dengan artileri berat pada Jumat (25/7/2025). Pertempuran yang makin meluas ini telah menewaskan sedikitnya 20 orang dan memaksa lebih dari 130.000 warga mengungsi, dalam eskalasi terburuk sejak 13 tahun terakhir.
Kedua negara saling menyalahkan atas awal mula penyebab konflik, sementara retorika yang makin keras terlontar dari kedua sisi. Thailand menuduh Kamboja sengaja menyerang warga sipil. Sementara Kamboja mengecam penggunaan bom cluster oleh militer Thailand, senjata yang kontroversial dan dikecam komunitas internasional.
Usulan Gencatan Senjata Gagal
Perdana Menteri sementara Thailand, Phumtham Wechayachai, menyebut serangan dari pihak Kamboja terjadi di banyak titik dan berpotensi memicu perang terbuka. “Situasinya makin memanas dan bisa meningkat menjadi kondisi perang. Saat ini terjadi konfrontasi senjata berat,” ujarnya dalam konferensi pers.
Sementara itu, Perdana Menteri Kamboja, Hun Manet, mengatakan telah menyetujui usulan gencatan senjata dari Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, yang saat ini menjabat Ketua ASEAN. Namun, menurut Hun Manet, hanya satu jam setelah menyatakan persetujuan, pihak Thailand membatalkan komitmen tersebut.
Pernyataan resmi dari Kementerian Luar Negeri Thailand menyebut bahwa Thailand mendukung prinsip gencatan senjata, tetapi menekankan bahwa keputusan harus didasarkan pada kondisi di lapangan yang tepat. “Sepanjang hari, pasukan Kamboja terus melancarkan serangan tanpa pandang bulu,” tulis Thailand melalui platform X (dulu Twitter).
Serangan Meluas, Roket BM-21 dan Korban Sipil
Militer Thailand menyatakan pertempuran pecah kembali pada Jumat dini hari dan meningkat menjadi bentrokan di 12 lokasi, meningkat dua kali lipat daripada hari sebelumnya. Pihak Kamboja dituduh menggunakan artileri berat dan roket BM-21 buatan Rusia untuk menyerang area pemukiman, termasuk sekolah dan rumah sakit.
“Serangan brutal ini telah merenggut banyak nyawa warga sipil tak berdosa,” tulis pernyataan militer Thailand. “Penargetan warga sipil secara sengaja adalah kejahatan perang dan pelakunya harus diadili.”
Thailand juga menuding bahwa serangan Kamboja dikendalikan oleh mantan Perdana Menteri Hun Sen, ayah dari Hun Manet, yang masih memegang pengaruh besar di pemerintahan.
Pantauan media di Provinsi Surin menunjukkan konvoi militer Thailand bergerak menuju perbatasan, terdiri dari truk, kendaraan lapis baja, dan tank.
Kerusakan di Cagar Budaya, Tuduhan Bom Cluster
Kamboja melaporkan kerusakan serius pada Candi Preah Vihear, situs warisan dunia UNESCO abad ke-11 yang selama ini menjadi sumber sengketa perbatasan kedua negara. Militer Thailand menyanggah laporan itu dan menyebutnya sebagai “distorsi fakta”.
Kamboja juga mengecam keras penggunaan bom cluster oleh Thailand. Meski Thailand bukan negara pihak dalam Konvensi Internasional tentang Bom Cluster, militer Thailand mengklaim mereka mematuhi prinsip proporsionalitas dan hanya menargetkan sasaran militer.
Korban dan Pengungsian Massal
Hingga Jumat malam, jumlah korban tewas di Thailand mencapai 19 orang, termasuk 13 warga sipil, sementara 62 lainnya terluka. Kamboja belum merilis data resmi korban, namun seorang pejabat daerah menyebut sedikitnya satu orang tewas.
Thailand telah menyiapkan hampir 300 fasilitas penampungan di Provinsi Surin. Para pengungsi, sebagian besar warga lanjut usia dan anak-anak, terlihat berbaris untuk menerima makanan. Mereka duduk di tikar, berbagi cerita tentang bagaimana mereka melarikan diri.
“Kami mendengar ledakan sangat keras, jadi kami kabur ke sini. Kami sangat ketakutan,” kata Aung Ying Yong (67) sambil menyeka air matanya. “Begitu banyak orang menderita karena perang ini… kami sedih harus hidup seperti ini.”












