Seoul – Isu pemangkasan jam kerja kembali mengemuka di Korea Selatan menjelang pemilihan presiden mendatang. Setelah puluhan tahun dikenal sebagai salah satu negara dengan jam kerja terpanjang di dunia, kini muncul wacana yang berani: empat hari seminggu.
Wang Sung-jun, peneliti berusia 29 tahun di Electronics and Telecommunications Research Institute, telah merasakan manfaat skema ini. Selama dua pekan terakhir, ia hanya bekerja empat hari dalam seminggu. Kebijakan fleksibel institusinya memungkinkan pengaturan tersebut, selama Wang tetap memenuhi batas 80 jam kerja dalam dua pekan.
“Saya memang pulang larut hampir setiap hari, tapi memiliki tiga hari libur membuat saya lebih segar secara fisik dan punya waktu untuk diri sendiri,” ujarnya kepada The Korea Times.
Pengalaman Wang mencerminkan kemungkinan masa depan yang lebih luas bagi pekerja Korea. Dua partai besar di negeri itu kini membawa isu pekan kerja yang lebih pendek ke pusat perdebatan politik nasional.
Pada Senin lalu, Partai Kekuatan Rakyat (PPP) yang konservatif mengusulkan hari kerja 4,5 hari seminggu. Sementara itu, Partai Demokrat Korea (DPK) dari kubu liberal bahkan menjanjikan penerapan sistem kerja empat hari penuh.
Isu ini pertama kali digaungkan oleh Rep. Lee Jae-myung, calon presiden utama dari DPK, dalam pidatonya di Majelis Nasional pada Februari. Ia menyebut bahwa kemajuan teknologi dan kecerdasan buatan seharusnya membawa dampak nyata berupa pengurangan jam kerja.
“Kita harus memastikan bahwa hasil dari peningkatan produktivitas membawa keuntungan bagi pekerja, bukan hanya korporasi,” kata Lee. Ia menyoroti bahwa Korea menempati peringkat kelima negara dengan jam kerja terpanjang di antara anggota OECD. Data tahun 2022 mencatat bahwa pekerja Korea menghabiskan 149 jam lebih banyak dalam setahun dibanding rata-rata negara OECD.
Menariknya, meski sempat mengkritik usulan Lee, PPP kini menjadi partai konservatif pertama yang menyodorkan kebijakan serupa. Pemimpin sementara PPP, Rep. Kwon Young-se, menyebut model kerja 4,5 hari sebagai solusi realistis. Dalam skemanya, pekerja akan bekerja sembilan jam dari Senin hingga Kamis, dan hanya empat jam pada Jumat.
Perbedaan pendekatan antara dua partai terletak pada titik tekan kebijakan. DPK menekankan pemangkasan total jam kerja, sedangkan PPP menawarkan fleksibilitas di dalam batas hukum saat ini, yakni 52 jam kerja per pekan.
Saat ini, empat hari kerja seminggu masih menjadi privilese bagi sebagian pegawai di perusahaan besar, sektor teknologi, institusi publik, dan kantor pemerintahan. Sementara itu, pelaku usaha kecil menilai kebijakan ini sulit diimplementasikan.
“Dengan tenaga kerja yang sudah terbatas, pengurangan jam kerja berarti pengurangan hari produksi. Tapi beban kerja tetap harus diselesaikan. Solusinya ya lembur, dan itu menaikkan biaya tenaga kerja,” kata seorang pejabat dari Federasi Usaha Kecil dan Menengah Korea.
Pandangan serupa datang dari kalangan industri besar. Seorang pejabat konglomerat yang enggan disebut namanya menyatakan bahwa perubahan kebijakan bisa menimbulkan masalah dalam rantai pasok. “Pemasok kami, kebanyakan UKM, bisa kewalahan memenuhi tenggat jika jam kerja dipangkas,” ujarnya.
Kekhawatiran juga datang dari serikat pekerja. Lee Jeong-hee, Direktur Eksekutif di Konfederasi Serikat Buruh Korea, menilai bahwa meskipun perusahaan besar mungkin mampu memangkas jam kerja tanpa mengurangi upah, kondisi itu sulit dicapai oleh pelaku usaha kecil.
“Kita bisa mulai dari program percontohan di sektor dengan tingkat pergantian pekerja yang tinggi, seperti perawat rumah sakit,” ujarnya.
Para ahli menilai bahwa fleksibilitas adalah kunci. “Kita tidak seharusnya terjebak pada jumlah hari kerja. Yang lebih penting adalah bagaimana meningkatkan produktivitas,” ujar Lim Woon-taek, profesor sosiologi di Universitas Keimyung.
Ia menambahkan bahwa Korea memerlukan regulasi yang lebih ketat terkait jam kerja berlebih, namun pemangkasan jam kerja bukan solusi tunggal. “Sektor seperti layanan dan riset teknologi tidak bisa disamaratakan. Kita perlu sistem kerja yang fleksibel dan dirancang dengan baik,” kata Lim.
Dengan pemilu presiden yang kian dekat, empat hari kerja seminggu berpotensi menjadi salah satu janji politik yang paling berdampak pada kehidupan sehari-hari warga Korea Selatan. Kini, publik menunggu: apakah janji itu akan menjadi kenyataan atau sekadar slogan kampanye belaka.