NEW YORK, 23 September 2025 – Prancis pada Senin (22/9) secara resmi akui keberadaan negara Palestina. Langkah itu menambah panjang daftar negara Barat yang dalam beberapa hari terakhir memberikan pengakuan serupa, di tengah meningkatnya tekanan internasional atas krisis kemanusiaan di Gaza.
Presiden Emmanuel Macron mengumumkan keputusan tersebut saat berpidato di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York. Ia menegaskan bahwa perang yang masih berlangsung tidak lagi bisa dibenarkan.
“Saatnya perdamaian telah tiba. Tidak ada alasan yang dapat membenarkan perang berkelanjutan di Gaza,” ujar Macron.
Gelar KTT Bersama Arab Saudi
Prancis bersama Arab Saudi menjadi tuan rumah KTT satu hari di sela-sela Sidang Umum PBB yang berfokus pada rencana solusi dua negara. Namun, negara-negara anggota G7 seperti Jerman, Italia, dan Amerika Serikat absen dari pertemuan itu.
Macron juga menyampaikan bahwa Belgia, Luksemburg, Malta, Andorra, dan San Marino akan mengikuti langkah Prancis dalam memberikan pengakuan. Sebelumnya, Inggris, Kanada, Australia, dan Portugal lebih dulu menyatakan hal serupa pada Minggu (21/9).
Tekanan pada Israel
Keputusan sejumlah negara Barat dinilai sebagai bentuk tekanan terhadap Israel, yang terus melakukan serangan militer di Gaza dan memperluas permukiman di Tepi Barat.
Israel mengecam pengakuan negara Palestina, dengan alasan hal itu sama saja “menghadiahi” Hamas atas serangan 7 Oktober 2023 yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyandera 251 warga di Israel selatan.
Sejak itu, lebih dari 65.000 warga Palestina tewas akibat serangan Israel, menurut otoritas kesehatan Gaza yang dikuasai Hamas. Situasi kemanusiaan kian memburuk, dengan PBB menyatakan kelaparan telah terjadi di Gaza bulan lalu.
Macron: “Hentikan Perang, Bebaskan Sandera”
Dalam pidatonya, Macron menekankan pentingnya gencatan senjata, pembebasan sandera Israel yang masih ditahan Hamas, serta pembentukan otoritas transisi yang dipimpin Otoritas Palestina (PA) untuk membongkar struktur kekuasaan Hamas.
Ia juga menyinggung kesiapan Prancis mengirim misi stabilisasi di Gaza. Namun, Macron menegaskan bahwa Paris baru akan membuka kedutaan untuk negara Palestina setelah semua sandera dibebaskan dan gencatan senjata dicapai.
Reaksi Dunia
Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Pangeran Faisal bin Farhan Al Saud, mewakili Putra Mahkota Mohammed bin Salman, kembali menekankan bahwa solusi dua negara merupakan jalan satu-satunya menuju perdamaian abadi di Timur Tengah.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyebut kondisi di Gaza sebagai sesuatu yang “tak tertahankan secara moral, hukum, dan politik”. Ia menegaskan solusi dua negara adalah satu-satunya jalan kredibel untuk mengakhiri konflik Israel-Palestina.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas, yang tak bisa hadir langsung ke New York karena visanya dicabut Amerika Serikat, menyampaikan pidato melalui sambungan video. Ia menyerukan gencatan senjata permanen serta menegaskan bahwa Hamas tidak boleh memegang kendali di Gaza.
“Yang kami inginkan adalah satu pemerintahan Palestina tanpa senjata,” kata Abbas. Ia juga mengecam serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 dan menyerukan perdamaian kepada rakyat Israel.
Israel Tetap Menolak
Israel tetap menolak opsi negara Palestina. Duta Besar Israel untuk PBB Danny Dannon menyebut pembicaraan di PBB sebagai “sandiwara” dan membuka kemungkinan aneksasi penuh atas Tepi Barat.
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu sebelumnya menegaskan, tidak akan ada negara Palestina di sebelah barat Sungai Yordan. Presiden Israel Isaac Herzog menambahkan, pengakuan negara Palestina hanya akan “memberi keberanian pada kekuatan kegelapan”.
Simbolisme di Eropa
Menjelang pengumuman Macron, Menara Eiffel di Paris menampilkan bendera Palestina dan Israel berdampingan pada Minggu malam (21/9). Sejumlah balai kota di Prancis juga mengibarkan bendera Palestina pada Senin, meski pemerintah pusat memerintahkan agar otoritas lokal bersikap netral.
Di Italia, aksi pro-Palestina digelar di lebih dari 80 kota, sementara pemerintah Giorgia Meloni menilai pengakuan negara Palestina saat ini bisa “kontraproduktif”.
Adapun Jerman menyatakan belum saatnya memberikan pengakuan, namun Menteri Luar Negeri Johann Wadephul menyebut proses menuju pengakuan harus segera dimulai.












