Menu

Mode Gelap
Amerika Serikat Ancam Terbitkan 36 Travel Ban Baru Israel Serang Fasilitas Nuklir Iran Air India Jatuh: Lebih dari 240 Tewas, Satu Penumpang Selamat Ayah Farel Prayoga Ditangkap Polisi karena Judi Online! Penembakan di Sekolah Austria Tewaskan 10 Orang, Pelaku Bunuh Diri 5 Negara Jatuhkan Sanksi ke Dua Menteri Israel

Religi

Sejarah Gelar Haji di Indonesia: Cara Belanda Menandai Orang Terdidik

badge-check


					Sejarah Gelar Haji di Indonesia: Cara Belanda Menandai Orang Terdidik Perbesar

ElMedia — Gelar “Haji” di Indonesia bukan sekadar penanda bahwa seseorang telah menunaikan ibadah ke Tanah Suci. Di balik gelar ini tersimpan sejarah panjang yang berkaitan erat dengan strategi politik kolonial Belanda dalam mengawasi dan mengendalikan umat Islam di Hindia Belanda agar tidak melawan penjajah.

Tradisi penyematan gelar “Haji” di depan nama seseorang yang telah menunaikan ibadah haji merupakan fenomena khas Indonesia. Di negara-negara lain, seperti di Timur Tengah, gelar semacam ini tidak umum digunakan.

Sejarah Gelar Haji: Berawal dari Masa Kolonial

Menurut Guru Besar Ilmu Sejarah Peradaban Islam UIN Raden Mas Said Surakarta, Syamsul Bakri, penyematan gelar “Haji” di Indonesia bermula pada masa penjajahan Belanda. Pemerintah kolonial Belanda khawatir terhadap pengaruh jamaah haji yang kembali dari Mekkah, karena mereka dianggap membawa semangat perlawanan dan ideologi Pan-Islamisme.

Pemerintah Hindia Belanda mulai menerapkan kebijakan pengawasan terhadap jamaah haji sejak awal abad ke-20. Pada tahun 1903, diterbitkan Staatsblad yang mengatur pelaksanaan ibadah haji, termasuk pencatatan dan pengawasan terhadap jamaah.

Kemudian, pada tahun 1916, gelar “Haji” mulai disematkan secara resmi kepada mereka yang telah menunaikan ibadah haji. Tujuannya adalah untuk memudahkan identifikasi dan pengawasan terhadap individu-individu yang dianggap berpotensi menyebarkan ideologi perlawanan terhadap kolonialisme.

Selain penyematan gelar, pemerintah kolonial mewajibkan jamaah haji mengenakan atribut khusus. Jubah, serban, dan peci putih digunakan agar mereka lebih mudah dikenali. Langkah ini merupakan bagian dari upaya sistematis untuk mengendalikan pengaruh jamaah haji di masyarakat.

Interaksi Global dan Pengaruh Pan-Islamisme

Perjalanan haji pada masa itu bukan sekadar ibadah spiritual, tetapi juga kesempatan untuk menimba ilmu dan berinteraksi dengan umat Islam dari berbagai negara. Banyak jamaah haji Indonesia tinggal di Makkah selama bertahun-tahun untuk mendalami ilmu agama. Selain itu, mereka juga berdiskusi tentang kondisi umat Islam di berbagai belahan dunia. Interaksi ini memperkuat semangat Pan-Islamisme dan kesadaran akan pentingnya persatuan umat Islam dalam menghadapi penjajahan.

Tokoh-tokoh seperti KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama; KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah dan HOS Tjokroaminoto, pendiri Sarekat Islam, adalah contoh jamaah haji yang kembali ke Indonesia dengan semangat pembaruan dan perlawanan terhadap kolonialisme. Gelar “Haji” yang mereka sandang menjadi simbol legitimasi keagamaan dan kepemimpinan di tengah masyarakat.

Setelah Indonesia merdeka, tradisi penyematan gelar “Haji” tetap dipertahankan dan bahkan semakin meluas. Gelar ini tidak lagi hanya sebagai penanda administratif. Tetapi kemudian juga sebagai simbol status sosial dan penghormatan terhadap mereka yang telah menunaikan rukun Islam kelima. Di masyarakat, gelar “Haji” sering diasosiasikan dengan kebijaksanaan, ketaatan beragama, dan kepemimpinan moral.

Namun, penting untuk diingat bahwa asal-usul gelar ini berkaitan dengan strategi kolonial untuk mengendalikan umat Islam. Memahami sejarah ini dapat memberikan perspektif yang lebih dalam tentang dinamika sosial dan politik di masa lalu, serta bagaimana warisan kolonial masih memengaruhi praktik budaya dan keagamaan di Indonesia saat ini.

Refleksi: Dari Alat Kolonial menjadi Warisan Budaya

Gelar “Haji” di Indonesia merupakan contoh bagaimana praktik keagamaan dapat dipengaruhi oleh konteks politik dan sosial. Meskipun awalnya digunakan oleh pemerintah kolonial sebagai alat pengawasan, gelar ini telah diadopsi oleh masyarakat sebagai simbol kehormatan dan prestise.

Memahami sejarah di balik gelar “Haji” membantu kita menghargai kompleksitas identitas keagamaan dan budaya di Indonesia, serta pentingnya refleksi kritis terhadap warisan masa lalu dalam membentuk praktik sosial masa kini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Desa Gladag Sembelih 14 Sapi dan 28 Kambing Kurban: Dibagikan kepada 2.582 KK

7 Juni 2025 - 15:20 WIB

Pemdes Gladag akan Gelar Semaan Al-Qur’an dan Dzikirul Ghofilin, Ini Jadwalnya

30 Mei 2025 - 18:08 WIB

Tujuh Alasan Mengapa Babi Ngepet Tidak Mengambil Uang di ATM

7 Mei 2025 - 18:17 WIB

Babi ngepet tidak bisa curi uang di ATM

Afrika Menanti Sejarah: Harapan akan Paus Kulit Hitam Pertama

23 April 2025 - 11:11 WIB

Haji 2025: Ini Dokumen yang Harus Disiapkan Jemaah

22 April 2025 - 10:10 WIB

Trending di News