RIO DE JANEIRO, 31 Oktober 2025 – Sebuah operasi polisi besar-besaran melawan jaringan narkoba di Rio de Janeiro berubah menjadi tragedi paling berdarah dalam sejarah kepolisian Brasil. Sedikitnya 121 orang tewas, termasuk empat petugas polisi, dalam penggerebekan yang digelar pada Selasa (28/10) waktu setempat.
Menurut keterangan kepolisian negara bagian Rio, operasi ini telah direncanakan selama lebih dari dua bulan dan menyasar kelompok kriminal besar yang menguasai perdagangan narkotika di beberapa wilayah pinggiran kota. Aksi itu melibatkan satuan operasi khusus yang bersembunyi di area perbukitan berhutan untuk melakukan penyergapan.
“Tingkat mematikan dari operasi ini memang sudah diperkirakan, namun tidak diharapkan,” ujar Kepala Keamanan Negara Bagian Rio, Victor Santos, dalam konferensi pers. Ia menegaskan, penyelidikan internal akan dilakukan untuk menelusuri kemungkinan pelanggaran oleh aparat.
Hingga Rabu (29/10), kepolisian memastikan 121 korban tewas, meski publik memperkirakan jumlah akhir bisa mencapai 132 orang.
Presiden Lula Serukan Evaluasi
Presiden Luiz Inácio Lula da Silva menegaskan bahwa kekerasan narkoba harus diberantas, namun mengingatkan agar aparat tidak membahayakan warga sipil.
“Kita tidak boleh membiarkan kejahatan terorganisasi menghancurkan keluarga dan menyebarkan ketakutan di kota-kota,” tulis Lula dalam unggahannya di platform X.
Warga Gelar Barisan Jenazah di Jalan
Situasi di distrik Penha, Rio, berubah pilu ketika warga menemukan puluhan jasad di area hutan sekitar tempat operasi. Mereka kemudian menyusun lebih dari 70 jenazah di tengah jalan utama sebagai bentuk protes terhadap kekerasan polisi.
“Saya hanya ingin membawa anak saya pulang dan memakamkannya,” ujar Taua Brito, salah satu ibu korban, di tengah tangis pelayat.
Sore harinya, ratusan warga menggelar konvoi sepeda motor menuju istana gubernur. Mereka membawa bendera Brasil yang diwarnai cap tangan merah, simbol protes terhadap kekerasan negara.
Sebelumnya, operasi paling mematikan di Rio terjadi pada 2021 di kawasan Jacarezinho, yang menewaskan 28 orang. Namun, operasi kali ini melampaui semua rekor, bahkan melampaui tragedi Carandiru 1992, ketika 111 narapidana tewas ditembak polisi di penjara São Paulo.
PBB Desak Penyelidikan
Kantor Hak Asasi Manusia PBB menyampaikan keprihatinan mendalam atas jumlah korban yang tinggi dan menuntut penyelidikan cepat serta transparan.
“Kami mengingatkan pemerintah Brasil akan kewajiban mereka di bawah hukum hak asasi manusia internasional,” tulis badan PBB itu dalam pernyataannya.
Para pengacara dan aktivis HAM menyebut banyak korban menunjukkan tanda-tanda eksekusi singkat, seperti luka tembak di wajah dan leher, serta tubuh yang diikat.
“Beberapa keluarga melaporkan adanya bekas penyiksaan,” kata Guilherme Pimentel, pengacara HAM yang mendampingi keluarga korban di kamar jenazah polisi.
Pemerintah Rio Bantah Pelanggaran
Meski kritik menguat, Kepala Keamanan Negara Bagian Rio, Victor Santos, menampik adanya pelanggaran.
“Setiap pelanggaran akan diselidiki, meski saya yakin hal itu tidak terjadi,” ujarnya.
Gubernur Cláudio Castro juga membela operasi tersebut, menegaskan bahwa seluruh korban adalah kriminal bersenjata.
“Saya tidak percaya ada orang yang berjalan di hutan pada hari bentrokan itu. Satu-satunya korban sejati adalah polisi,” katanya.
Pemerintah menyebut operasi ini sebagai yang terbesar dalam sejarah untuk menumpas jaringan Comando Vermelho, geng narkoba yang menguasai sejumlah favela di Rio. Aparat juga menangkap 113 tersangka dan menyita 118 senjata api.
Untuk menekan eskalasi kekerasan, Menteri Kehakiman Ricardo Lewandowski mengumumkan pengiriman 50 petugas federal tambahan ke Rio guna membantu pemberantasan kejahatan terorganisasi.












