Washington – Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Minggu (4/5/2025) mengumumkan tarif impor sebesar 100 persen untuk film yang diproduksi di luar negeri. Kebijakan ini disebutnya sebagai langkah penyelamatan industri film nasional yang menurutnya tengah “sekarat sangat cepat”.
“Ini adalah upaya terkoordinasi oleh negara lain dan, karena itu, merupakan ancaman terhadap Keamanan Nasional. Ini juga soal pesan dan propaganda,” kata Trump melalui platform media sosial miliknya, Truth Social.
Trump menyatakan bahwa ia telah memerintahkan lembaga-lembaga terkait, termasuk Departemen Perdagangan, untuk segera memulai proses penerapan tarif tersebut. “KITA INGIN FILM-FILM DIPRODUKSI DI AMERIKA, LAGI!” tegasnya.
Menteri Perdagangan Howard Lutnick merespons singkat melalui X (sebelumnya Twitter), “Kami sedang menanganinya.” Namun, baik Trump maupun Lutnick tidak memberikan rincian teknis soal penerapan tarif, termasuk apakah kebijakan ini akan mencakup layanan streaming seperti Netflix, atau hanya berlaku untuk film yang tayang di bioskop.
Hingga Minggu malam waktu setempat, para eksekutif Hollywood masih berusaha memahami rincian kebijakan tersebut. Asosiasi Film Amerika (Motion Picture Association), yang mewakili studio-studio besar, belum mengeluarkan pernyataan resmi.
Langkah kontroversial ini menjadi kelanjutan dari serangkaian kebijakan dagang agresif yang diterapkan oleh pemerintahan Trump, yang sebelumnya sempat memicu gejolak pasar dan kekhawatiran akan resesi ekonomi.
Industri Film AS dalam Tantangan Berat
Dalam beberapa tahun terakhir, produksi film dan televisi Amerika semakin banyak berpindah ke luar negeri. Perpindahan ini bertujuan untuk memanfaatkan insentif pajak serta biaya produksi yang lebih rendah. Negara-negara seperti Kanada, Inggris, Australia, dan Selandia Baru telah menjadi lokasi favorit bagi rumah produksi besar, termasuk Walt Disney, Netflix, dan Universal Pictures.
Laporan firma riset ProdPro menunjukkan bahwa pada 2023, sekitar separuh dari pengeluaran produser AS untuk proyek film dan TV dengan anggaran lebih dari 40 juta dolar dilakukan di luar negeri. Sementara itu, produksi di kota asal Hollywood, Los Angeles, anjlok hampir 40 persen dalam satu dekade terakhir, menurut data FilmLA.
Penurunan ini semakin diperparah oleh kebakaran hebat yang melanda California pada Januari lalu. Kondisi tersebut memicu kekhawatiran bahwa para pekerja industri di balik layar, seperti teknisi suara dan perancang kostum, akan meninggalkan kota tersebut.
ProdPro mencatat bahwa California hanya menempati peringkat keenam sebagai lokasi favorit syuting dalam dua tahun ke depan. California kalah dari Toronto, Inggris, Vancouver, Eropa Tengah, dan Australia.
Respons Global dan Kekhawatiran Pembalasan
Para pemimpin Australia dan Selandia Baru telah menyatakan akan membela industri perfilman lokal mereka. Sejumlah film Marvel diketahui mengambil lokasi syuting di Australia. Sementara itu, Selandia Baru telah lama menjadi lokasi utama film The Lord of the Rings.
Mantan pejabat senior Departemen Perdagangan AS, William Reinsch, yang kini menjadi peneliti senior di Center for Strategic and International Studies, memperingatkan potensi balasan dari negara lain. “Retaliasi akan menghancurkan industri kita. Kita lebih banyak kehilangan daripada mendapatkan,” ujarnya.
Trump sebelumnya telah menunjuk sejumlah tokoh Hollywood konservatif, seperti Jon Voight, Sylvester Stallone, dan Mel Gibson, untuk menjalankan sebuah visi. Mereka dipercaya untuk “membangkitkan kembali Hollywood agar lebih besar dan kuat dari sebelumnya.”
Namun, tanpa rincian konkret, kebijakan tarif ini justru memunculkan kekhawatiran baru di kalangan pelaku industri hiburan Amerika. Bayang-bayang perang dagang yang baru semakin memperburuk ketidakpastian.