Singapura – Di tengah persiapan menjelang pemilu nasional pada 3 Mei mendatang, sebuah tren tak biasa mencuat dalam panggung politik Singapura. Para kandidat, baik dari partai besar maupun kecil, berlomba-lomba memamerkan kemampuan bermusik mereka lewat klip video yang tersebar luas di media sosial.
Dari tiupan saksofon yang dimainkan Harpreet Singh, kandidat unggulan dari kubu oposisi, hingga aksi beatbox dan nyanyian lagu dalam berbagai dialek lokal. Para calon wakil rakyat itu tampak berlomba mencari simpati publik melalui pendekatan yang lebih santai dan menghibur.
Namun tidak semua pertunjukan musik itu memukau. Samuel Lee, kandidat dari Partai Rakyat Berdaulat (PPP), menjadi bahan olok-olok warganet usai menyanyikan lagu ciptaannya sendiri yang terdengar sumbang. Dengan lirik tentang mencari pekerjaan sambil “melihat ke kiri dan kanan,” aksinya viral dan melahirkan berbagai meme.
Beberapa video yang beredar merupakan rekaman baru yang dibuat dalam suasana kampanye, namun sejumlah lainnya merupakan cuplikan video lama. Seperti video Perdana Menteri Lawrence Wong yang memainkan gitar bersama band lokal. Atau Pritam Singh, pemimpin oposisi dari Partai Buruh, yang menyanyi dalam perayaan Tahun Baru Imlek partainya.
Kritik Pengamat Pemilu Singapura Terhadap Metode Kampanye
Meski tampak menghibur, pendekatan ini menuai kritik. “Mereka ingin terlihat dekat dengan rakyat, tapi ini justru kontraproduktif,” ujar pengamat politik dari Nanyang Technological University, Walid Jumblatt Abdullah. “Video TikTok yang konyol ini bukanlah cara terbaik untuk menjadi relatable. Cukup berbicara seperti manusia biasa, itu jauh lebih efektif.”
Di balik tren yang menghibur ini, pemilu kali ini terjadi dalam suasana ekonomi yang penuh tantangan. Pemerintah memperingatkan potensi resesi akibat tarif dagang dari Amerika Serikat. Isu-isu ekonomi seperti biaya hidup, ketimpangan, dan harga rumah tetap menjadi perhatian utama bagi 2,76 juta pemilih.
Popularitas Partai Penguasa Turun
Ini juga menjadi ujian elektoral pertama bagi Lawrence Wong, yang menggantikan Lee Hsien Loong sebagai pemimpin Partai Aksi Rakyat (PAP). Partai ini telah mendominasi pemerintahan Singapura sejak negara itu merdeka pada 1965.
Namun, popularitas PAP tengah diuji. Survei Blackbox Research terhadap 1.506 responden pada April menunjukkan tingkat kepuasan publik yang rendah terhadap kinerja pemerintah dalam isu-isu utama: biaya hidup (52%), pajak penjualan (55%), ketimpangan (57%), harga mobil (58%), dan keterjangkauan perumahan (59%).
Meski begitu, PAP diperkirakan masih akan mendominasi perolehan kursi, dengan mencalonkan wakil di seluruh 33 konstituensi untuk memperebutkan 97 kursi parlemen. Namun yang menjadi sorotan adalah perolehan suara populer, yang pada 2020 turun menjadi 61% dari 70% pada 2015. Jika tren penurunan ini berlanjut dan Partai Buruh menambah perolehan kursinya dari rekor 10 kursi pada pemilu sebelumnya, hal ini bisa dibaca sebagai sinyal melemahnya dominasi PAP.
Sementara hasil akhir masih menunggu waktu, satu hal sudah pasti dalam kampanye Pemilu Singapura: musik kini ikut mengisi panggung politik Singapura. Entah sebagai strategi kampanye, hiburan, atau sekadar intermezzo di tengah ketegangan menjelang pemilu.