Tel Aviv – Pemerintah Israel menyetujui rencana militer baru untuk menguasai seluruh wilayah di Jalur Gaza dan tetap berada di wilayah tersebut tanpa batas waktu yang jelas. Keputusan ini disahkan dalam rapat kabinet pada Senin dini hari, di tengah meningkatnya serangan dan tekanan terhadap kelompok Hamas.
Dua pejabat Israel yang mengetahui isi rapat menyampaikan bahwa rencana ini merupakan bagian dari upaya untuk mencapai tujuan utama perang, yakni menghancurkan Hamas dan membebaskan para sandera yang masih ditahan di Gaza.
Jika dijalankan sepenuhnya, langkah ini akan memperluas operasi militer Israel secara signifikan dan diperkirakan memicu kecaman keras dari komunitas internasional. Sejak gencatan senjata antara Israel dan Hamas gagal pada pertengahan Maret, militer Israel terus menggencarkan serangan darat dan udara yang menewaskan ratusan orang dan membuat hampir separuh wilayah Gaza kini berada dalam kendali pasukan Israel.
Dorong Populasi ke Selatan, Krisis Kemanusiaan Memburuk
Rencana baru ini juga mencakup pemindahan massal warga Palestina ke wilayah selatan Gaza. Langkah ini dikhawatirkan akan memperparah krisis kemanusiaan yang sudah mencapai titik kritis sejak Israel menutup akses bantuan kemanusiaan ke Gaza, termasuk pangan, bahan bakar, dan air bersih.
Kelangkaan kebutuhan pokok telah memicu kelaparan dan penjarahan di berbagai wilayah. Sementara itu, Israel menuding Hamas memanfaatkan distribusi bantuan untuk memperkuat kekuasaan dan memperkuat logistik perangnya.
“Rencana ini mencakup pendudukan penuh Gaza dan pencegahan distribusi bantuan oleh Hamas,” ujar salah satu pejabat, seraya menambahkan bahwa operasi militer akan dilakukan secara bertahap.
Bantuan Diatur Perusahaan Swasta, PBB Menolak
Sebagai bagian dari rencana ini, Israel menawarkan sistem distribusi bantuan melalui perusahaan keamanan swasta. Menurut memo internal yang beredar di kalangan organisasi bantuan, Israel mengusulkan agar bantuan masuk melalui perbatasan Kerem Shalom, dengan rata-rata 60 truk per hari.
Distribusi dilakukan di pusat logistik yang dijaga ketat, dengan sistem pengenalan wajah dan pemberitahuan SMS kepada warga yang akan mengambil bantuan. Namun, PBB menolak ikut serta dalam skema tersebut, dengan menyebut bahwa rencana itu bertentangan dengan prinsip kemanusiaan.
“Rencana ini tampaknya dirancang untuk memperkuat kontrol atas kebutuhan hidup sebagai taktik tekanan dalam strategi militer,” kata PBB dalam pernyataannya.
AS disebut telah menyatakan dukungan atas rencana ini. Namun, belum jelas siapa yang akan mendanai operasional perusahaan keamanan swasta dan distribusi bantuan.
Kekhawatiran akan Pemindahan Paksa dan Penahanan Massal
Dokumen dari sejumlah organisasi bantuan mengungkap kekhawatiran bahwa pusat logistik tersebut dapat berubah menjadi tempat pengungsian permanen. Hal ini dikhawatirkan akan menciptakan kondisi yang menyerupai kamp tahanan bagi warga Palestina.
Sementara itu, pertempuran terus berlanjut. Sejak dimulainya kembali perang, serangan yang dilancarkan Israel telah menyebabkan lebih dari 52.000 warga Gaza tewas. Data ini berdasarkan laporan dari otoritas kesehatan Palestina. Angka tersebut mencakup banyak perempuan dan anak-anak, dan tidak membedakan antara warga sipil dan kombatan.
Lebih dari 90 persen penduduk Gaza telah mengungsi, dan wilayah tersebut kini nyaris tidak dapat dihuni.
Perang ini dimulai pada 7 Oktober tahun lalu, saat kelompok militan yang dipimpin Hamas menyerbu wilayah selatan Israel. Serangan tersebut menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyebabkan sekitar 250 lainnya disandera. Israel mengklaim masih ada 59 sandera di Gaza, dengan 35 di antaranya diyakini telah tewas.