NEW YORK, 19 Oktober 2025 – Gelombang protes besar, aksi “No Kings”, melanda berbagai kota di Amerika Serikat (AS) menentang kebijakan Presiden Donald Trump. Dari New York, Washington DC, Chicago, Miami hingga Los Angeles, massa turun ke jalan membawa pesan yang sama: menolak otoritarianisme dan menyerukan pemulihan demokrasi.
Di Times Square, New York, ribuan orang memenuhi jalan dan pintu masuk stasiun bawah tanah sejak pagi. Mereka mengangkat poster bertuliskan, “Democracy not Monarchy” dan “The Constitution is not optional”. Polisi memperkirakan lebih dari 100.000 orang berpartisipasi di seluruh wilayah kota, tanpa adanya penangkapan.
Suasana demonstrasi diwarnai tabuhan drum, suara lonceng, dan teriakan “This is what democracy looks like” yang bergema di antara gedung-gedung pencakar langit. Helikopter dan drone terlihat memantau dari udara, sementara aparat kepolisian berjaga di sisi jalan.
Beth Zasloff, penulis lepas yang turut dalam aksi, mengaku hadir karena merasa khawatir atas arah pemerintahan Trump.
“Saya marah dan cemas melihat langkah menuju pemerintahan otoriter,” ujarnya. “Tapi berada di sini, bersama ribuan orang lain, memberi saya harapan.”
Kekhawatiran Terhadap Arah Pemerintahan
Sejak kembali ke Gedung Putih, Trump memperluas kekuasaan eksekutifnya. Ia membatasi dana Kongres, memberlakukan tarif perdagangan baru, dan mengerahkan pasukan Garda Nasional ke sejumlah kota..
Trump berkilah, kebijakan tersebut dibutuhkan untuk “membangun kembali negara yang tengah krisis.” Namun para pengkritik menilai langkah itu mengikis prinsip konstitusi dan mengancam demokrasi Amerika.
Massimo Mascoli (68), pensiunan insinyur asal New Jersey yang tumbuh di Italia, mengatakan keprihatinannya.
“Paman saya tewas karena melawan fasisme Mussolini. Saya tak menyangka, 80 tahun kemudian, akan melihat gejala serupa di Amerika,” ujarnya.
Mascoli mengecam keras kebijakan imigrasi, pemotongan layanan kesehatan, dan pengerahan militer di dalam negeri. “Kami tak bisa berharap pada Kongres, Mahkamah Agung, atau pemerintah. Semuanya kini melawan rakyat,” katanya.
Tokoh Politik Turun ke Jalan
Pemimpin Minoritas Senat Chuck Schumer juga tampak bergabung dalam aksi di New York. “Kita tidak punya raja di Amerika. Dan kita tidak akan membiarkan Trump terus mengikis demokrasi,” tulisnya di media sosial X.
Sementara di Washington DC, Senator Bernie Sanders menyampaikan orasi di hadapan ribuan pendukung.
“Kita ada di sini bukan karena membenci Amerika, tetapi karena kita mencintainya,” serunya, disambut sorak peserta.
Di antara kerumunan, tampak pula warga yang datang hanya untuk “menyaksikan suasana.” Seorang pria berpenampilan pendukung Trump dengan topi bertuliskan “Make America Great Again” mengaku heran melihat skala unjuk rasa. “Saya tak benar-benar paham, tapi orang-orang di sini tetap sopan,” ujarnya.
Reaksi dan Tensi Politik
Menjelang aksi, sejumlah sekutu Trump menuding para demonstran berafiliasi dengan kelompok kiri radikal Antifa dan menyebutnya sebagai “rally kebencian terhadap Amerika.”
Beberapa gubernur Partai Republik, seperti Greg Abbott di Texas dan Glenn Youngkin di Virginia, bahkan menyiagakan Garda Nasional. Namun, laporan di lapangan menunjukkan kehadiran pasukan tersebut minim.
“Menurunkan tentara bersenjata untuk menghadapi protes damai adalah tindakan seorang raja, bukan pemimpin demokrasi,” kata politikus Demokrat Texas, Gene Wu.
Gelombang Solidaritas Internasional
Aksi serupa juga terjadi di berbagai kota dunia. Di Berlin, Madrid, dan Roma, ratusan orang turun ke jalan menyatakan solidaritas dengan warga Amerika. Di London, para demonstran berkumpul di depan Kedutaan Besar AS, sementara di Toronto, spanduk bertuliskan “Hands off Canada” berkibar di depan konsulat AS.
Dalam wawancara dengan Fox News yang akan tayang Minggu, Trump menanggapi sindiran bahwa dirinya berperilaku seperti raja.
“Saya bukan raja,” katanya. “Tapi jika mereka ingin memanggil saya begitu, biarkan saja.”
Survei Reuters/Ipsos terbaru menunjukkan tingkat kepuasan publik terhadap Trump hanya 40%, dengan 58% menyatakan tidak setuju atas kinerjanya. Angka ini sejalan dengan rata-rata selama masa kepresidenannya, namun jauh di bawah dukungan awal saat ia kembali menjabat.












