Istanbul – Pejabat senior Ukraina menyatakan delegasi Rusia menuntut agar pasukan Ukraina menarik diri dari seluruh wilayah yang diklaim Moskow, sebagai syarat untuk memulai gencatan senjata. Hal ini disampaikan dalam pertemuan damai antara Rusia dan Ukraina di Istanbul, Turki, pada Jumat (16/5/2025) kemarin.
Pertemuan tatap muka antara kedua belah pihak ini merupakan yang pertama sejak Maret 2022. Meski berlangsung singkat, hanya satu jam 40 menit, kedua pihak sepakat untuk melakukan pertukaran 1.000 tawanan perang dari masing-masing pihak. Namun, belum ada kepastian mengenai waktu pelaksanaannya.
Kremlin belum memberikan komentar resmi terkait tuntutan yang disampaikan dalam pertemuan tersebut. Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, menegaskan bahwa proses negosiasi sebaiknya dilakukan secara tertutup. Ia juga menyatakan kemungkinan Presiden Rusia Vladimir Putin bertemu langsung dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy, namun hanya jika telah tercapai “kesepakatan tertentu”, tanpa merinci lebih lanjut.
Serangan di Sumy dan Desakan Sanksi Baru
Di tengah upaya diplomasi tersebut, serangan drone Rusia di wilayah Sumy, Ukraina timur laut, menewaskan sembilan penumpang bus. Presiden Zelenskiy menyebut serangan itu sebagai pembunuhan yang disengaja terhadap warga sipil dan mendesak negara-negara Barat untuk memberlakukan sanksi yang lebih keras terhadap Rusia.
“Tekanan harus terus ditingkatkan terhadap Rusia agar mereka menghentikan pembunuhan ini. Tanpa sanksi yang lebih berat, tanpa tekanan yang lebih besar, Rusia tidak akan mencari jalur diplomasi sejati,” kata Zelenskiy dalam pernyataan resminya.
Pihak Rusia membantah menyerang warga sipil dan mengklaim bahwa sasaran mereka adalah instalasi militer di Sumy. Kementerian Pertahanan Rusia juga mengumumkan telah merebut satu permukiman lagi di Ukraina timur.
Tuntutan Rusia Melebihi Usulan Damai AS
Menurut sumber Ukraina, tuntutan terbaru Rusia, termasuk penarikan total pasukan Ukraina dari wilayah Donetsk, Zaporizhzhia, Kherson, dan Luhansk, melampaui isi rancangan kesepakatan damai yang sebelumnya diusulkan Amerika Serikat setelah berkonsultasi dengan Moskow.
Sementara itu, Amerika Serikat, Ukraina, dan negara-negara Barat lainnya tetap menyerukan gencatan senjata segera dan tanpa syarat yang berlangsung setidaknya selama 30 hari.
Peran Erdogan dan Intervensi Trump
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyatakan bahwa negaranya tetap berkomitmen untuk berperan sebagai mediator dalam konflik ini. Namun, proses negosiasi turut diwarnai tekanan dari Presiden AS Donald Trump, yang menyebut perang ini sebagai “perang bodoh”.
Trump mengancam akan menghentikan upaya mediasi AS jika tidak ada kemajuan nyata dalam pembicaraan damai. Ia juga menyampaikan bahwa proses tidak akan bergerak maju hingga dirinya melakukan pertemuan langsung dengan Putin.
Pihak Kremlin menyambut baik peran aktif Amerika Serikat dan menyatakan kesiapan untuk melanjutkan kerja sama diplomatik, termasuk melalui Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov yang telah berbicara dengan Menlu AS Marco Rubio pasca-pertemuan Istanbul.
Reaksi Eropa
Sejumlah pemimpin Eropa menyampaikan kekecewaan atas hasil pembicaraan. Menteri Luar Negeri Inggris David Lammy menyebut Rusia kembali menunjukkan ketidakseriusan dalam mencapai perdamaian. Presiden Prancis Emmanuel Macron bahkan menyatakan bahwa tidak ada hasil konkret dari pertemuan tersebut.
Sementara itu, Uni Eropa sedang menyiapkan paket sanksi baru terhadap Rusia. Namun setelah lebih dari tiga tahun sanksi berlapis, efektivitas langkah-langkah ekonomi tersebut mulai dipertanyakan.
“Pada titik apa kita akan berkata kepada Putin bahwa sudah cukup?” kata Lammy saat berkunjung ke Pakistan.