Tokyo/Seoul – Jepang dan Korea Selatan pada Minggu (22/6/2025) memperingati 60 tahun normalisasi hubungan diplomatik mereka, sebuah tonggak penting dalam sejarah dua negara Asia Timur yang bertetangga namun kerap bersitegang, terutama akibat warisan kelam pendudukan kolonial Jepang di Semenanjung Korea pada awal abad ke-20.
Momen peringatan ini terjadi di tengah upaya baru dari kedua pihak untuk memperbaiki hubungan. Namun, ketegangan sejarah dan tantangan geopolitik yang kian kompleks masih membayangi proses tersebut.
Perspektif dari Seoul: Membangun di Atas Fondasi Lama
Presiden Korea Selatan yang baru, Lee Jae Myung, tengah berupaya menjaga kesinambungan kebijakan luar negeri dari pendahulunya yang konservatif, Yoon Suk Yeol.
Meski dikenal kritis terhadap Jepang, Lee menyebut dirinya seorang pragmatis dalam diplomasi. Ia kemungkinan akan tetap melanjutkan pendekatan kerja sama dengan Jepang, terutama dalam rangka memperkuat kemitraan trilateral bersama Amerika Serikat guna menghadapi ancaman nuklir Korea Utara.
Pada tahun 2023, Presiden Yoon mengumumkan rencana kompensasi yang didanai Korea Selatan bagi para korban kerja paksa pada masa penjajahan. Keputusan tersebut memicu reaksi keras dari para korban dan pendukung mereka, yang menuntut pembayaran langsung dari perusahaan-perusahaan Jepang serta permintaan maaf baru dari Tokyo.
Meski langkah ini memperbaiki hubungan dagang dan pariwisata, banyak warga Korea masih menilai Jepang belum menunjukkan itikad baik dalam menyelesaikan persoalan sejarah.
Beberapa pakar menyatakan bahwa stabilitas hubungan yang membaik antara kedua negara akan segera mendapat ujian. Bertepatan dengan peringatan 15 Agustus—hari pembebasan Korea dari penjajahan Jepang pada akhir Perang Dunia II—Presiden Lee kemungkinan akan menyampaikan pernyataan publik mengenai sejarah kelam bangsanya dengan Jepang.
Perspektif dari Tokyo: Menatap Masa Depan
Perdana Menteri Jepang, Shigeru Ishiba, yang lebih empatik terhadap korban agresi masa lalu Jepang daripada pendahulunya, menyatakan keinginan kuat untuk memperbaiki hubungan dengan Seoul. Dalam pertemuan pertamanya dengan Lee di sela-sela KTT G7, keduanya sepakat untuk “menatap ke depan” dan mengesampingkan “perbedaan-perbedaan kecil”.
Keduanya juga sepakat untuk memperkuat komunikasi dan kerja sama dalam menghadapi isu-isu kawasan seperti pengembangan nuklir Korea Utara.
Namun sejarah tetap menjadi duri dalam hubungan ini. Meskipun Jepang mengklaim bahwa semua isu kompensasi perang telah selesai melalui perjanjian normalisasi tahun 1965, sejumlah kasus, termasuk eksploitasi perempuan Korea sebagai “wanita penghibur”, masih terus menjadi titik panas diplomatik.
Beberapa kalangan di Jepang khawatir Presiden Lee akan membawa hubungan kembali ke era konfrontatif. Kekhawatiran ini muncul karena situasi serupa pernah terjadi di bawah pemerintahan liberal sebelumnya. Namun, pernyataan Lee yang menyebut Jepang dan Korea sebagai “tetangga dengan halaman depan yang sama” memberikan secercah harapan baru.
Tantangan Baru Hubungan Jepang dan Korea Selatan: Trump dan Perdagangan Global
Selain isu sejarah, kedua negara kini menghadapi tekanan ekonomi eksternal. Presiden AS Donald Trump kembali menerapkan tarif dagang tinggi dalam kebijakan “America First”-nya. Kebijakan ini juga mencakup sektor otomotif yang menjadi andalan ekspor Jepang dan Korea Selatan.
Surat kabar Hankyoreh di Korea Selatan dan Yomiuri di Jepang sama-sama menyerukan kolaborasi erat antara Tokyo dan Seoul untuk merespons tekanan ekonomi global. Seruan ini juga mencakup perlindungan terhadap sistem perdagangan bebas yang kini terancam.
Dalam resepsi peringatan di Tokyo, Perdana Menteri Ishiba menyampaikan optimismenya akan masa depan hubungan bilateral. “Saya melihat masa depan yang cerah,” ujarnya, seraya menekankan pentingnya kerja sama dalam menghadapi tantangan bersama seperti penurunan angka kelahiran dan populasi menua.












