Jakarta – Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung) menandatangani perjanjian kerja sama dengan empat operator telekomunikasi untuk pemasangan perangkat penyadapan, demikian disampaikan juru bicara Kejaksaan Agung Harli Siregar pada Kamis (26/6/2025). Langkah ini menuai sorotan dari para analis yang mempertanyakan dampaknya terhadap privasi dan potensi pengawasan massal.
Perjanjian yang diteken pada Selasa lalu memungkinkan jaksa untuk mengakses rekaman komunikasi dan bertukar data dengan operator untuk kepentingan penegakan hukum. Empat perusahaan yang terlibat dalam kerja sama ini yakni PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, anak usahanya Telkomsel, serta Indosat dan XLSMART Telecom Sejahtera.
Tujuan Kerja Sama Penyadapan
“Kita memiliki banyak buronan dan butuh teknologi untuk mendeteksi mereka,” ujar Harli Siregar kepada Reuters, mengacu pada penerapan Undang-Undang 2021 yang memberikan kewenangan penyadapan kepada Kejaksaan Agung.
Sebelumnya, kewenangan penyadapan telah dimiliki oleh Kepolisian RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, pengamat kebijakan digital Wahyudi Djafar menilai perluasan kewenangan ini bisa mengarah pada penggunaan penyadapan tanpa dasar hukum yang jelas.
Potensi Penyalahgunaan
“Tidak ada pembatasan yang jelas soal bagaimana penyadapan dilakukan, berapa lama, dan siapa yang boleh mengakses data,” ujar Wahyudi. Ia merupakan Direktur Kebijakan Publik Rakhsa Initiatives, lembaga kajian yang berfokus pada tata kelola digital dan isu strategis keamanan.
Ia menambahkan bahwa kewenangan baru Kejaksaan Agung berpotensi melebihi lembaga lain seperti polisi dan KPK dalam hal pengawasan komunikasi.
Menanggapi kekhawatiran tersebut, Harli Siregar menegaskan penyadapan hanya akan dilakukan terhadap buronan dan tidak dilakukan secara sewenang-wenang. “Tidak akan dilakukan secara sembarangan,” katanya.
Damar Juniarto, pengurus Amnesty International Indonesia, menyatakan bahwa penambahan lembaga negara yang diberi kewenangan penyadapan akan meningkatkan risiko terhadap kebebasan sipil di Indonesia.
Pihak Kantor Komunikasi Presiden belum memberikan tanggapan atas pertanyaan terkait dampak perjanjian ini terhadap kebebasan sipil.
Perlindungan Data dan Regulasi yang Berlaku
Sementara itu, Direktur XLSMART Merza Fachys menekankan bahwa Kejaksaan Agung merupakan lembaga negara yang memiliki otoritas hukum untuk melakukan penyadapan. Lebih jauh, Merza menyampaikan bahwa perusahaan akan menjamin data pelanggan akan tetap aman.
Sebagai catatan, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi sejak 2022. UU ini mengatur sanksi denda hingga 2% dari pendapatan tahunan perusahaan jika terbukti lalai melindungi data konsumen. Sanksi lainnya termasuk penyitaan atau pelelangan aset korporasi.
Langkah ini diperkirakan akan terus menjadi sorotan publik, terutama dalam hal transparansi pelaksanaannya dan perlindungan hak-hak privasi warga negara.