Menu

Mode Gelap
Dua Terduga Pelaku Penembakan WN Australia di Bali Ditangkap Amerika Serikat Ancam Terbitkan 36 Travel Ban Baru Israel Serang Fasilitas Nuklir Iran Air India Jatuh: Lebih dari 240 Tewas, Satu Penumpang Selamat Ayah Farel Prayoga Ditangkap Polisi karena Judi Online! Penembakan di Sekolah Austria Tewaskan 10 Orang, Pelaku Bunuh Diri

Internasional

Pertemuan Amerika Serikat dan China di Swiss: Perang Dagang Siap Reda?

badge-check


					Pertemuan Amerika Serikat dan China di Swiss: Perang Dagang Siap Reda? Perbesar

Beijing/Washington – China dan Amerika Serikat memulai pertemuan besar pertama mereka dalam babak baru perang dagang yang dimulai Sabtu (10/5/2025), di tengah harapan untuk meredam ketegangan yang telah mengguncang pasar global, memutus rantai pasok, dan meningkatkan risiko perlambatan ekonomi dunia.

Pertemuan yang berlangsung di Swiss ini mempertemukan Menteri Keuangan Amerika Serikat Scott Bessent dan negosiator utama Jamieson Greer dengan kepala ekonomi China He Lifeng. Namun, para analis menilai ekspektasi untuk tercapainya terobosan konkret masih sangat rendah.

“Yang realistis saat ini hanyalah menyusun agenda dan menyepakati apakah akan ada proses lanjutan,” kata Scott Kennedy dari Center for Strategic and International Studies di Washington.

Jalan Terjal Menuju Kesepakatan

Di balik meja perundingan, kedua negara membawa visi ekonomi yang saling bertolak belakang. Washington ingin memangkas defisit perdagangan dengan Beijing dan mendorong China untuk meninggalkan model ekonomi yang dinilai “merkantilis.” Selain itu, Washington berharap China juga berkontribusi lebih besar terhadap konsumsi global. Hal ini akan menuntut reformasi domestik besar di China.

Sebaliknya, Beijing menolak campur tangan asing terhadap jalur pembangunannya. Bagi China, kemajuan industri dan teknologi adalah kunci untuk keluar dari “jebakan pendapatan menengah”. China meminta AS mencabut tarif dan memperjelas jenis barang apa yang ingin dibeli lebih banyak. Selain itu, China juga menghendaki perlakuan sebagai mitra setara di panggung global.

Namun, dibandingkan dengan periode pertama Presiden Trump, perbedaan posisi saat ini terlihat lebih mencolok dan risiko kegagalannya lebih besar.

Tarik-Ulur Tarif dan Isu Non-Perdagangan

Tarif dua arah yang kini berada di atas 100 persen menjadi simbol utama perang dagang ini.

Trump sempat memberi isyarat bahwa tarif hukuman AS sebesar 145% terhadap Beijing kemungkinan akan diturunkan. Pada hari Jumat, ia untuk pertama kalinya mengusulkan angka alternatif di platform media sosialnya, dengan menyatakan bahwa 80% “terlihat tepat.” Meski begitu, angka tersebut masih 20 poin lebih tinggi dari tarif yang ia janjikan dalam kampanye tahun lalu terhadap barang-barang China.

Selain tarif, isu-isu non-perdagangan turut memperkeruh suasana, mulai dari fentanyl, pembatasan teknologi, hingga geopolitik seperti perang di Ukraina. Menariknya, China dilaporkan mengirim pejabat tinggi keamanan publik dalam pertemuan ini, menandakan luasnya spektrum isu yang akan dibahas.

Harapan Akan Penurunan Eskalasi

Bagi pasar, sinyal de-eskalasi sekecil apa pun — seperti penurunan tarif atau kesepakatan untuk melanjutkan pembicaraan — akan dianggap sebagai perkembangan positif. “Gencatan senjata sementara atau pelonggaran tarif yang simetris akan membuka jalan menuju negosiasi lebih menyeluruh,” ujar Bo Zhengyuan, mitra di konsultan Plenum yang berbasis di Shanghai.

Namun, akar persoalannya adalah: ketimpangan dalam sistem perdagangan global, di mana produksi bergantung pada China dan konsumsi bertumpu pada AS. Masalah ini tidak bisa diatasi dalam waktu singkat.

Menurut Lynn Song, kepala ekonom ING untuk China Raya, level tarif 60 persen — sebagaimana dijanjikan Trump sebelum pemilu — masih cukup tinggi untuk menyaring produk-produk tertentu, namun tetap memberikan ruang bagi arus perdagangan yang lebih sehat.

Retorika dan Persepsi

Sebelum pertemuan akhir pekan ini, pembicaraan di balik layar sempat tersendat oleh isu fentanyl dan perbedaan tingkat senioritas pejabat negosiator. Selain itu, nada keras dalam retorika AS juga menjadi faktor penghambat diskusi. Media pemerintah China bahkan sempat memperingatkan tentang “perjuangan panjang”.

Meski demikian, sinyal dari Beijing mulai melunak. Sebuah blog yang terafiliasi dengan media negara menyebut bahwa pembicaraan “tidak menimbulkan kerugian saat ini” dan dapat menjadi sarana untuk “mengamati dan memahami niat sejati AS”.

“Sekarang bukan soal siapa yang berkedip lebih dulu, tapi siapa yang bisa memutar narasi bahwa pihak lawan yang berkedip lebih dulu,” ujar seorang diplomat yang berbasis di Beijing.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Hadapi Ancaman China, Taiwan Jalin Kerja Sama dengan Pemasok Drone Ukraina

18 Juni 2025 - 09:12 WIB

Taiwan jalin kerja sama dengan Auterion, pengembang software drone dari AS dan Jerman, untuk perkuat pertahanan dari ancaman China.

Tank Israel Tewaskan 51 Warga Gaza yang Antri Bantuan

18 Juni 2025 - 08:00 WIB

Tank Israel tembak kerumunan warga yang antri bantuan di Gaza selatan. Sedikitnya 51 orang tewas, puluhan luka-luka.

Kronologi Penembakan Politikus Demokrat, Pelaku Nyamar Jadi Polisi

17 Juni 2025 - 12:06 WIB

Penembakan politikus Partai Demokrat di Minnesota tewaskan Melissa Hortman dan suaminya, Senator John Hoffman dan istri terluka parah.

Israel dan Iran Saling Balas Serangan Udara, Trump Desak Warga Tinggalkan Teheran

17 Juni 2025 - 11:00 WIB

Trump minta warga tinggalkan Teheran usai lima hari serangan antara Iran dan Israel. Negosiasi damai tertunda, korban sipil terus bertambah.

Museum Louvre Paris Tutup Akibat Mogok Kerja

17 Juni 2025 - 10:05 WIB

Museum Louvre di Paris tutup mendadak akibat mogok kerja staf, memprotes lonjakan wisatawan dan kondisi kerja buruk.
Trending di Internasional