Moskow – Ketegangan antara Rusia dan Ukraina kembali memuncak setelah kedua negara saling menyalahkan atas gagalnya upaya negosiasi untuk memberlakukan moratorium serangan terhadap sasaran sipil. Perkembangan ini terjadi di tengah meningkatnya tekanan dari Amerika Serikat, yang mulai kehilangan kesabaran terhadap proses perdamaian yang belum menunjukkan hasil konkret.
Presiden AS Donald Trump, yang selama ini menyatakan akan mengakhiri perang di Ukraina “dengan cepat”, telah mengubah arah kebijakan luar negerinya, dari mendukung penuh Kyiv menjadi membuka ruang terhadap narasi Moskow.
Namun hingga kini, Rusia belum memberikan konsesi berarti. Negeri Beruang Merah itu masih bersikeras pada tuntutan awal: Ukraina harus menyerahkan sebagian wilayahnya dan tidak boleh bergabung dalam aliansi militer Barat.
Di tengah kebuntuan tersebut, Rusia dan Ukraina berusaha memposisikan diri demi mendapat simpati dari pemerintahan Trump. Presiden Vladimir Putin bulan lalu menolak usulan gencatan senjata 30 hari yang diinisiasi Washington dan telah disetujui secara prinsip oleh Ukraina. Sebagai gantinya, Kremlin mengumumkan gencatan senjata sepihak selama satu hari pada akhir pekan Paskah. Kyiv menilai langkah tersebut hanyalah sandiwara politik dan menuduh Moskow tetap melakukan pelanggaran selama periode tersebut.
Sebagai respons, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy menyerukan penghentian serangan terhadap infrastruktur sipil selama 30 hari. Putin menanggapi secara terbuka dan menyatakan kesediaannya untuk mempertimbangkan dialog bilateral yang akan menjadi pembicaraan langsung pertama antara kedua negara dalam tiga tahun terakhir.
Namun, juru bicara Kremlin Dmitry Peskov pada Selasa menyatakan bahwa Ukraina harus terlebih dahulu “membersihkan hambatan hukum” yang menghalangi kontak resmi tersebut. Meski tidak merinci, Moskow kerap mengeluhkan dekrit Presiden Zelenskiy yang melarang negosiasi dengan Putin.
Zelenskiy menepis anggapan adanya jalan buntu dari pihaknya. “Tidak ada dan tidak akan ada jalan buntu dari pihak Ukraina. Usulan kami untuk menghentikan serangan terhadap infrastruktur sipil masih berlaku. Yang dibutuhkan hanyalah kesediaan nyata dari Rusia untuk terlibat dalam pembicaraan ini,” tulisnya di platform X.
Pertemuan di London
Sementara itu, pertemuan trilateral antara pejabat AS, Eropa, dan Ukraina dijadwalkan berlangsung Rabu (23/4/2025) di London. Zelenskiy menyebut bahwa agenda utama pertemuan adalah mendorong gencatan senjata tanpa syarat. Sejauh ini, belum ada pertemuan langsung antara Ukraina dan Rusia sejak fase awal perang lebih dari tiga tahun lalu.
Bulan lalu, kedua pihak sempat bertemu dengan pejabat AS dalam pembicaraan paralel di Arab Saudi dan menyepakati jeda serangan terhadap infrastruktur energi. Namun kesepakatan itu pun dengan cepat dirusak oleh tudingan pelanggaran dari kedua pihak.
Ketika ditanya mengenai kemungkinan kesepakatan baru untuk menghentikan serangan terhadap sasaran sipil, Peskov menyebut isu tersebut kompleks dan harus dibahas secara hati-hati. Ia mengutip pernyataan Putin bahwa sebuah fasilitas sipil bisa berubah menjadi sasaran militer jika digunakan oleh kombatan musuh.
Selama konflik berlangsung, Rusia telah melancarkan sejumlah serangan udara yang menyebabkan ribuan warga sipil Ukraina tewas, serta kerusakan besar pada pembangkit listrik, pelabuhan, dan infrastruktur vital lainnya.
Ukraina, dengan kemampuan baru untuk menyerang wilayah Rusia, juga telah melakukan serangan balasan yang menewaskan warga sipil, meski dalam jumlah yang lebih sedikit.
Terakhir, serangan rudal Rusia di kota Sumy menewaskan sedikitnya 35 orang. Kyiv menyebutnya sebagai serangan sengaja terhadap warga sipil. Rusia membantah dan mengklaim bahwa mereka menargetkan pertemuan militer Ukraina.