Jakarta – Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendorong pemerintah untuk segera mengambil langkah konkret terkait pembatalan keberangkatan sejumlah calon jamaah haji furoda 2025. Pembatalan tersebut terjadi karena visa tidak dikeluarkan oleh Pemerintah Kerajaan Arab Saudi.
“Pemerintah diminta memastikan agar jamaah furoda yang batal berangkat tetap memperoleh pengembalian dana secara adil, wajar, dan transparan,” ujar Ketua YLKI, Niti Emiliana, di Jakarta, Minggu (1/6/2025).
YLKI meminta pemerintah mengawasi ketat proses pengembalian dana dan menjamin kejelasan waktu pencairannya. Niti menegaskan, konsumen tidak boleh dirugikan lebih lanjut akibat ketidakpastian ini.
Pengawasan Agen dan Pencegahan Penipuan
Selain itu, YLKI mendesak pemerintah agar menghentikan aktivitas penjualan program haji furoda oleh agen perjalanan yang masih menawarkan paket keberangkatan. Pihaknya juga menyoroti risiko penipuan yang dapat terjadi kepada masyarakat yang belum mendapat informasi menyeluruh.
“YLKI juga akan segera menyurati pemerintah agar dilakukan pendataan menyeluruh terhadap nama-nama calon haji furoda yang batal berangkat,” ucap Niti.
Secara lebih luas, YLKI mengajak Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk turut terlibat dalam mengawasi praktik bisnis dalam penyelenggaraan ibadah haji. Menurut Niti, penyelenggaraan haji harus berjalan adil dan menjunjung tinggi perlindungan konsumen.
“Perlindungan konsumen dalam penyelenggaraan ibadah haji adalah bagian dari tanggung jawab negara yang tidak bisa diabaikan,” tambahnya.
Negara Harus Hadir
Anggota Tim Pengawas Haji DPR RI, Abdul Fikri Faqih, juga menegaskan bahwa negara tidak bisa lepas tangan, meskipun visa haji furoda atau undangan (mujamalah) dikelola secara business to business antara agen perjalanan dan pihak di Arab Saudi.
“Visa furoda memang ada dan dimanfaatkan masyarakat Indonesia. Meskipun tidak dikelola secara formal oleh pemerintah, negara tetap wajib hadir untuk memberikan perlindungan hukum,” ujarnya.
Abdul Fikri menilai bahwa pemerintah perlu segera membuat regulasi teknis yang jelas dan mengefektifkan fungsi pengawasan. Hal ini agar jamaah calon haji mendapat kepastian dan hak-haknya tetap terlindungi secara hukum.
“Ini bukan semata-mata soal bisnis, tetapi juga soal perlindungan hak warga negara,” katanya.
Lebih lanjut, ia mendorong agar revisi terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah segera disahkan. Revisi ini diharapkan dapat mempertegas kewajiban negara dalam melindungi hak jamaah, termasuk mereka yang memilih jalur haji furoda.
“Undang-Undang tersebut harus berpihak pada jamaah. Mereka adalah warga negara yang sudah menunaikan kewajiban finansial dan seharusnya mendapat perlindungan yang layak,” ujar Abdul Fikri.