Bandung – Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi memulai program pembinaan siswa bermasalah melalui pelatihan ala militer di barak milik TNI. Program yang mulai berlaku Jumat (2/5/2025), bertepatan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat serta pemerhati pendidikan.
“Selama enam bulan siswa akan dibina di barak dan tidak mengikuti sekolah formal. TNI yang akan menjemput langsung siswa ke rumah untuk dibina karakter dan perilakunya,” ujar Dedi Mulyadi dalam keterangannya, Jumat. Ia menegaskan bahwa program ini merupakan bentuk intervensi terhadap siswa yang dianggap telah gagal dibina oleh lingkungan keluarga maupun sekolah.
Menurut Dedi, banyak orangtua mengeluh karena anak-anak mereka terlibat dalam pergaulan bebas, tawuran, geng motor, hingga penyalahgunaan obat-obatan terlarang. “Anak-anak yang orangtuanya sudah tidak sanggup lagi mendidik akan kami wajib militerkan,” katanya.
Dedi memastikan meski siswa dibina secara fisik dan mental di barak, mereka tetap akan mendapat akses pendidikan formal agar tidak tertinggal secara akademis.
Pemerhati Pendidikan Soroti Pendekatan Militer
Namun, kebijakan ini langsung memicu perdebatan. Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haeri mengingatkan agar Pemprov Jawa Barat tidak gegabah dalam mengambil langkah. Ia mengingatkan pentingnya kebijakan berbasis data.
“Pak Gubernur harus melihat data terlebih dahulu. Kenakalan remaja seperti apa yang dimaksud, dan di mana persebarannya,” kata Iman, Rabu (30/4/2025). Ia menyebutkan bahwa populasi remaja di Jawa Barat mencapai 8,1 juta jiwa, dengan Kabupaten Bandung sebagai wilayah terbanyak.
Iman juga menyoroti perbedaan antara pendidikan karakter dan pendekatan militer. Ia mengacu pada Perpres 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter, yang menurutnya lebih tepat digunakan untuk membina siswa bermasalah.
“Jangan lupakan, anak remaja kita adalah masyarakat sipil. Kalau tindakan mereka sudah termasuk pidana, ada lembaga pembinaan khusus seperti LPKA,” ujarnya. Iman menyarankan agar Pemprov mempertimbangkan membangun sekolah militer khusus yang memiliki kurikulum jelas dan pengawasan pendidikan formal.
DPR Ingatkan Hak Dasar Siswa Tak Boleh Diabaikan
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian Irfani, juga mengingatkan agar pendekatan ini tidak menyingkirkan hak dasar siswa dalam memperoleh pendidikan menyeluruh. “Tanpa mengabaikan hak-hak dasar siswa untuk mendapatkan pendidikan yang berorientasi pada pengembangan potensi,” kata Lalu, Senin (28/4/2025).
Menurutnya, wacana pendidikan militer bagi siswa perlu dikaji mendalam dan melibatkan berbagai pihak. Ia menyoroti bahwa nilai-nilai bela negara sudah terintegrasi dalam pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKN), sesuai Permenhan Nomor 8 Tahun 2022 tentang Pembinaan Kesadaran Bela Negara.
“Pendidikan karakter dan nasionalisme seharusnya dikuatkan melalui kurikulum, bukan dengan pendekatan militer fisik,” tegas Lalu. Ia juga mengingatkan pentingnya pendekatan pedagogis dan relevansi kurikulum abad ke-21 dalam membentuk generasi muda yang tangguh dan berintegritas.
Jumlahnya Mencapai Ratusan
Jumlah siswa bermasalah yang dikirim ke pusat pembinaan barak militer di Jawa Barat melonjak signifikan. Dari semula hanya 29 siswa pada gelombang pertama, kini telah bertambah menjadi 210 anak dari berbagai kabupaten/kota.
“Yang pertama siswa dikirim ke sini pada hari Sabtu atau malam Minggu ada 29 siswa. Hari ini bertambah cukup signifikan dengan jumlah 210 anak dari berbagai kabupaten/kota,” kata Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat Herman Suryatman, Senin (5/5/2025).
Menurut Herman, lonjakan ini menunjukkan keseriusan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam menangani masalah kenakalan remaja yang semakin kompleks. “Besok lusa mungkin ada tambahan karena saat ini masih diidentifikasi. Kami menyiapkan untuk gelombang pertama ini sampai 350 siswa,” ujarnya.
Beragam Latar Belakang Siswa dan Bentuk Kenakalan
Para siswa yang dikirim ke barak militer berasal dari berbagai daerah di Jawa Barat, seperti Purwakarta, Depok, Bogor, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Sukabumi. Mereka dikategorikan sebagai remaja dengan perilaku menyimpang yang mengganggu lingkungan sosial maupun pendidikan formal.
“Dinamikanya macam-macam. Ada yang kecanduan gim, ada yang terpapar narkoba, minuman keras, geng motor, tawuran, dan sebagainya,” ujar Herman.
Materi Pembinaan
“Materi pembinaan disesuaikan dengan standar bela negara, dan juga materi pendidikan formal. Jadi materinya ada bela negara, wawasan kebangsaan, P3K, kedisiplinan dan baris berbaris, anti narkoba, keagamaan atau spiritualitas,” jelas Herman.
Pemerintah Provinsi juga memastikan para siswa tetap mendapatkan hak atas pendidikan formal selama menjalani pembinaan. “Yang tidak kalah penting, ada waktu 2 jam untuk disisipkan pendidikan formal sesuai kurikulum sekolah agar siswa tidak ketinggalan pelajaran,” tambahnya.
Program ini merupakan bagian dari inisiatif Gubernur Jawa Barat untuk menanggulangi kenakalan remaja dengan pendekatan berbasis kedisiplinan dan karakter. Meskipun menuai sejumlah tanggapan pro dan kontra, pemerintah daerah menegaskan bahwa pendekatan ini bersifat korektif dan bertujuan menyelamatkan masa depan generasi muda.







