Jakarta – Ibrahim Arif, saksi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), menjalani pemeriksaan intensif selama 13 jam oleh penyidik Kejaksaan Agung pada Kamis (12/6/2025).
Ibrahim tiba di Gedung Bundar Kejaksaan Agung sekitar pukul 10.15 WIB dan baru meninggalkan lokasi pemeriksaan pada pukul 23.28 WIB. Ia diperiksa sebagai saksi terkait proyek pengadaan laptop senilai Rp 9,9 triliun yang tengah diselidiki oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus).
Klarifikasi Status dan Peran
Kuasa hukum Ibrahim Arif, Indra Haposan Sihombing, menegaskan bahwa kliennya bukanlah staf khusus Menteri Nadiem Makarim seperti yang ramai diberitakan. Menurut Indra, Ibrahim merupakan konsultan individu yang ditugaskan untuk memberikan masukan-masukan teknis, khususnya dalam hal penggunaan teknologi pendidikan seperti Chromebook dan Windows.
“Beliau hanya memberikan rekomendasi teknologi. Tidak punya kewenangan dalam proses pengadaan,” ujar Indra saat memberikan keterangan kepada wartawan di Kejaksaan Agung, Kamis malam.
Indra menambahkan bahwa Ibrahim hanya menjelaskan kelebihan dan kekurangan Chromebook daripada Windows, untuk selanjutnya menjadi pertimbangan Kemendikbudristek dalam pengambilan keputusan.
Pemeriksaan Saksi
Selain Ibrahim Arif, Kejaksaan Agung sebelumnya juga memeriksa Fiona Handayani, mantan staf khusus Menteri Nadiem, pada Selasa (10/6). Penyidik Jampidsus memeriksa Fiona selama 12 jam. Sementara satu lagi mantan staf khusus, Jurist Tan, belum memenuhi dua kali panggilan dari kejaksaan.
Penyidik juga telah menggeledah kediaman ketiganya dan mengajukan permohonan pencegahan ke luar negeri guna mendukung proses penyidikan.
Dugaan Penyimpangan dalam Pengadaan Chromebook
Kejaksaan Agung menduga telah terjadi tindakan melawan hukum dalam pengadaan laptop Chromebook untuk sekolah-sekolah di Indonesia pada periode 2019–2024. Dari total anggaran Rp 9,9 triliun, sekitar Rp 6,4 triliun bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK).
Menurut penyidik, kebijakan pengadaan ini bertentangan dengan hasil uji coba pada 2018–2019. Kala itu, uji coba 1.000 unit Chromebook menunjukkan hasil tidak efektif karena keterbatasan jaringan internet di banyak wilayah Indonesia. Rekomendasi saat itu adalah penggunaan laptop berbasis Windows.
Namun, dalam praktiknya, Kemendikbudristek justru tetap memutuskan untuk membeli Chromebook dalam jumlah besar.
Kejaksaan menyatakan penyidikan masih berlangsung dan tidak menutup kemungkinan adanya tersangka baru.