Washington – Pemerintahan Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump tengah mempertimbangkan kebijakan larangan perjalanan yang lebih luas bagi warga dari puluhan negara. Rencana ini muncul berdasarkan memo internal yang diperoleh Reuters serta keterangan dari sejumlah sumber yang memahami kebijakan tersebut.
Seorang pejabat AS yang enggan disebutkan namanya menegaskan bahwa daftar negara yang terkena dampak masih dapat berubah dan belum mendapat persetujuan akhir dari pemerintahan Trump, termasuk oleh Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio.
Dalam memo tersebut, terdapat 41 negara yang dikategorikan ke dalam tiga kelompok berbeda berdasarkan tingkat pembatasan visa yang akan diberlakukan.
Pelarangan Visa Secara Penuh
Kategori pertama mencakup negara-negara yang warganya akan mengalami larangan visa total untuk masuk ke AS. Negara-negara yang termasuk dalam kategori ini antara lain: Afghanistan, Kuba, Iran, Libya, Korea Utara, Somalia, Sudan, Suriah, Venezuela, dan Yaman.
Pembatasan Visa Parsial
Kategori kedua mencakup negara-negara yang akan menghadapi pembatasan pada jenis visa tertentu, seperti visa wisata, pelajar, dan beberapa visa lainnya. Negara yang masuk dalam kategori ini adalah: Eritrea, Haiti, Laos, Myanmar, dan Sudan Selatan.
Rekomendasi untuk Pembatasan Jika Tidak Memenuhi Standar
Kategori ketiga mencakup negara-negara yang disarankan untuk dikenai pembatasan visa parsial jika mereka tidak mengambil langkah-langkah untuk mengatasi kekurangan yang dinilai oleh pemerintah AS. Negara-negara dalam kategori ini meliputi: Angola, Antigua dan Barbuda, Belarus, Benin, Bhutan, Burkina Faso, Cabo Verde, Kamboja, Kamerun, Chad, Republik Demokratik Kongo, Dominika, Guinea Khatulistiwa, Gambia, Liberia, Malawi, Mauritania, Pakistan, Republik Kongo, Saint Kitts dan Nevis, Saint Lucia, Sao Tome dan Principe, Sierra Leone, Timor Leste, Turkmenistan, dan Vanuatu.
Pemerintahan Trump sebelumnya telah menerapkan kebijakan larangan perjalanan bagi sejumlah negara dengan alasan keamanan nasional. Namun, kebijakan tersebut menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk kelompok hak asasi manusia dan sejumlah negara yang terdampak. Hingga saat ini, belum ada konfirmasi resmi dari Gedung Putih terkait kebijakan baru ini.