Liverpool – Kegembiraan warga Liverpool menyambut gelar juara Liga Inggris musim 2024/2025 ini berubah menjadi tragedi. Sebuah minivan menabrak kerumunan suporter yang sedang merayakan gelar juara Liga Inggris Liverpool FC, Senin (26/5/2025) waktu setempat. Insiden ini menambah daftar tragedi yang berkaitan dengan Liverpool FC.
Polisi menyatakan lebih dari 60 orang mengalami luka-luka dalam insiden yang terjadi di tengah kemeriahan parade juara di jalan-jalan kota Liverpool. Hingga Selasa (27/5/2025), sebanyak 11 korban masih dalam perawatan di rumah sakit. Pihak kepolisian telah menangkap pengemudi mobil, pria berusia 53 tahun, dengan tuduhan percobaan pembunuhan. Namun, pihak berwenang memastikan insiden ini tidak terkait aksi terorisme.
“Seharusnya hari ini tentang perayaan. Tapi kini yang diingat justru tragedi, bukan parade piala,” ujar Aaron Jones (28), salah satu suporter yang menyaksikan kejadian dari dekat.
Kota Pelabuhan yang Tangguh
Liverpool, kota pelabuhan di barat laut Inggris, memiliki sejarah panjang tentang keberhasilan dan penderitaan. Pada abad ke-18 dan 19, Liverpool menjadi salah satu pelabuhan tersibuk di dunia. Namun, memasuki abad ke-20, kota ini harus menghadapi kerusakan akibat Perang Dunia II, runtuhnya industri pelabuhan, dan gelombang pengangguran pada era 1980-an.
Meski demikian, kota yang juga menjadi tanah kelahiran The Beatles ini bangkit. Kini, Liverpool terkenal sebagai destinasi budaya dan olahraga yang menarik jutaan wisatawan setiap tahun. Klub-klub sepak bola seperti Liverpool FC dan Everton FC menjadi simbol kebanggaan warga kota.
Namun, sejarah panjang klub Liverpool FC juga tak lepas dari tragedi. Lagu kebesaran mereka, You’ll Never Walk Alone, telah menjadi pengingat tentang duka yang pernah terjadi.
Luka Lama yang Belum Hilang
Pada laman resminya, Liverpool FC menyampaikan doa dan dukungan kepada para korban kecelakaan, serta mengingatkan publik akan tragedi di Stadion Heysel dan Hillsborough yang membentuk identitas klub.
Tragedi Heysel: Final Piala Champions Eropa
Pada 29 Mei 1985, Liverpool menghadapi tim Italia, Juventus, dalam final Piala Champions Eropa di Stadion Heysel, Brussel.
Kerusuhan sebelum kickoff bermula dari desakan massa oleh suporter Liverpool ke tribun yang berdekatan, yang sebagian besar dihuni oleh pendukung Juventus. Dalam kekacauan tersebut, beberapa orang terinjak atau mengalami sesak napas saat berusaha melarikan diri dari kekerasan, sementara lainnya meninggal ketika tembok pembatas runtuh.
Total 39 orang — 32 dari Italia, empat dari Belgia, dua dari Prancis, dan satu dari Irlandia Utara — meninggal, dan sekitar 600 orang mengalami luka-luka.

Heysel, 29 Mei 1985.
Suporter Liverpool sebagian besar disalahkan atas insiden tersebut. Sebanyak 26 orang ditangkap, dan 14 di antaranya dinyatakan bersalah atas pembunuhan tidak disengaja.
Banyak pihak juga menyalahkan kondisi Stadion Heysel yang sudah tua dan tidak terawat. Dengan kapasitas 55.000 orang, stadion ini memiliki tribun berdiri yang sudah usang, pagar yang rapuh, serta tembok yang mulai runtuh. Kegagalan pengendalian massa dari pihak kepolisian dan UEFA, badan pengelola sepak bola Eropa, semakin memperparah situasi.
Tragedi Hillsborough: Semifinal Piala FA
Terjadi pada 15 April 1989 saat pertandingan semifinal Piala FA antara Liverpool dan Nottingham Forest di Stadion Hillsborough, Sheffield. Insiden ini merupakan bencana olahraga paling mematikan dalam sejarah Inggris, dengan 97 korban jiwa dan 766 orang terluka.
Tragedi ini terjadi ketika lebih dari 2.000 pendukung Liverpool diizinkan membanjiri area berdiri di belakang gawang, padahal stadion sudah hampir penuh. Para korban terjepit di pagar besi pembatas tribun atau terinjak-injak, dan banyak yang mengalami sesak napas.
Bencana olahraga paling mematikan di Inggris ini diperparah oleh upaya menutup-nutupi penyebab kejadian serta adanya kesalahan aparat kepolisian.

Hillsborough, 15 April 1989.
Di tengah maraknya hooliganisme dalam sepak bola Inggris sepanjang 1980-an serta masih segarnya ingatan tentang tragedi Heysel, narasi keliru yang menyalahkan suporter Liverpool sebagai pemabuk, masuk tanpa tiket, dan bertindak ricuh sengaja diciptakan oleh polisi serta disebarkan oleh sebagian media.
Keluarga korban berjuang selama bertahun-tahun untuk mengoreksi laporan tersebut.
Hingga akhirnya pada 2016, pengadilan menyatakan bahwa kepolisian dan layanan darurat bertanggung jawab atas tragedi ini. Pengadilan juga menyatakan bahwa para korban adalah korban “pembunuhan yang tidak sah” (unlawful killing).
Tragedi ini membawa perubahan besar dalam sepak bola Inggris, yaitu menghapus tribun berdiri berpagar dan perubahan ke stadion dengan tempat duduk sepenuhnya.
Ingatan kota ini tetap kuat. Hingga kini, banyak warga Liverpool menolak membaca tabloid The Sun. Media tersebut pernah menerbitkan berita yang menuduh suporter menyerang polisi dan menjarah korban yang telah meninggal.
Bersatu dalam Duka
Meski persaingan di lapangan hijau antara Liverpool dan Everton FC kerap memanas, duka kali ini menyatukan warga kota. Everton FC turut menyampaikan belasungkawa. “Sebagai satu kota, kami berdiri bersama,” tulis klub itu dalam pernyataan resminya.
Walikota Liverpool City Region, Steve Rotheram, menceritakan bagaimana warga kota saling membantu saat insiden berlangsung. “Saya mendengar banyak cerita tentang warga yang membuka pintu rumah mereka untuk orang asing yang ketakutan, atau menawarkan tumpangan bagi mereka yang ingin pulang,” ujarnya.
“Inilah kemanusiaan sejati dari kota besar ini,” tambahnya.