Washington DC – Pemerintah dan warga dari sejumlah negara menyampaikan keprihatinan dan kemarahan setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali memberlakukan Travel Ban bagi warga dari 12 negara.
Trump menandatangani kebijakannya pada Rabu (4/6/2025) yang melarang warga dari negara-negara seperti Afghanistan, Iran, Libya, dan Myanmar masuk ke wilayah AS mulai Senin (9/6/2025). Ia menyebut larangan ini diperlukan untuk “melindungi dari teroris asing.”
Kebijakan ini mengingatkan publik pada larangan serupa yang ia berlakukan saat menjabat presiden pada periode 2017–2021. Ketika itu, pelarangan terhadap negara-negara mayoritas Muslim memicu gelombang protes dan gugatan hukum, sebelum Mahkamah Agung AS mengesahkannya pada 2018. Presiden Joe Biden kemudian mencabut larangan tersebut pada 2021.
Namun, larangan kali ini jauh lebih luas cakupannya. Warga dari tujuh negara lainnya—Burundi, Kuba, Laos, Sierra Leone, Togo, Turkmenistan, dan Venezuela—akan menghadapi pembatasan parsial.
“Luka bagi Martabat Bangsa”
Pejabat senior di Kementerian Luar Negeri Sudan, yang enggan disebut namanya, menyebut alasan Trump tidak berdasar. “Warga Sudan tidak pernah dikenal sebagai ancaman teroris di mana pun di dunia,” katanya.
Presiden Chad, Mahamat Idriss Déby Itno, bahkan memerintahkan pembalasan diplomatik. “Chad tidak memiliki pesawat atau miliaran dolar untuk ditawarkan, tapi Chad punya martabat,” tulisnya dalam unggahan di Facebook.
Sementara itu, warga Afghanistan yang sedang menunggu proses pemukiman kembali ke AS menyatakan ketakutan. Seorang aktivis perempuan bernama Fatima, yang kini berada di Pakistan, menyebut larangan ini menghancurkan semua harapan mereka. “Keputusan Presiden Trump mengubah harapan kami menjadi abu,” ujarnya.
Alasan Keamanan dan Potensi Tantangan Hukum
Trump mengatakan larangan ini menyasar negara-negara yang dianggap gagal dalam kerja sama keamanan visa, lemah dalam verifikasi identitas, dan memiliki tingkat pelanggaran visa yang tinggi. Ia juga merujuk pada insiden pelemparan bom molotov di Colorado oleh warga Mesir sebagai justifikasi. Meskipun Mesir sendiri tidak termasuk dalam daftar Travel Ban.
“Mesir adalah mitra dekat dan mereka mengendalikan situasi di sana,” kata Trump menjelaskan keputusannya.
Menurut data Institut Kebijakan Migrasi, pada tahun fiskal 2023, pemerintah memberikan sekitar 162.000 visa imigran dan visa non-imigran kepada warga dari negara-negara yang kini termasuk dalam daftar larangan.
Larangan tersebut kemungkinan akan menghadapi tantangan hukum. Namun, Stephen Yale-Loehr, mantan profesor hukum imigrasi di Cornell Law School, mengatakan bahwa ia memperkirakan gugatan-gugatan tersebut akan sulit menang, karena larangan terbaru mencakup berbagai pengecualian dan menyebutkan kekhawatiran keamanan spesifik untuk setiap negara.
“Trump belajar dari kesalahan masa lalu. Kali ini, larangannya memiliki dasar keamanan dan berbagai pengecualian,” kata Stephen Yale-Loehr, mantan profesor hukum imigrasi di Cornell Law School.
Larangan ini tidak berlaku bagi pemegang kewarganegaraan ganda, penduduk tetap, dan anggota keluarga dekat warga AS. Selain itu, atlet yang bertanding dalam ajang olahraga internasional seperti Piala Dunia juga mendapat pengecualian.
Respons Dunia Internasional
Beberapa pejabat negara terdampak menyatakan kesiapan untuk berdialog. “Somalia menghargai hubungannya dengan Amerika Serikat dan siap berdiskusi untuk menjawab kekhawatiran keamanan,” kata Duta Besar Somalia untuk AS, Dahir Hassan Abdi.
Bagi banyak warga dari negara-negara yang terdampak, larangan ini menjadi pukulan berat secara administratif. Selain itu, kebijakan ini juga menyentuh aspek martabat dan identitas bangsa.