Elmedia – Sebutan “Parcok” dan “Wercok” yang belakangan sering digunakan untuk menyebut anggota TNI dan Polri memang menarik untuk dibahas.
Orang Indonesia memang punya kebiasaan unik dalam menciptakan istilah-istilah baru yang sering kali muncul dari humor, sindiran, atau bahkan ekspresi kasih sayang yang sedikit usil.
Dalam kasus ini, kedua istilah itu punya cerita panjang yang berakar dari budaya komunikasi di kalangan masyarakat sipil dan aparat sendiri.
Sebagai bangsa yang kaya dengan bahasa, kita sudah biasa menciptakan singkatan, akronim, atau pelesetan yang kadang lebih populer dibandingkan nama resminya.
Lihat saja bagaimana “Pak Ogah” lebih dikenal ketimbang “tukang parkir liar”, atau bagaimana istilah “warga +62” menjadi semacam identitas bagi kita semua, lengkap dengan segala tingkah lakunya yang unik di media sosial.
Begitu pula dengan sebutan “Parcok” dan “Wercok”, yang meskipun terdengar nyeleneh, tetaplah bagian dari ekspresi masyarakat dalam melihat institusi yang sangat berperan dalam kehidupan bernegara ini.
Dari Mana Datangnya “Parcok” dan “Wercok”?
Kalau kita telusuri, sebutan ini bukan muncul begitu saja dari langit seperti wahyu. Ada proses panjang yang melibatkan budaya komunikasi, guyonan khas rakyat, dan tentu saja interaksi antara masyarakat sipil dengan aparat negara.
“Parcok” sendiri diyakini berasal dari istilah “Prajurit Coklat” yang kemudian dipendekkan. Warna coklat ini tentu saja merujuk pada seragam khas Polri yang memang didominasi warna tersebut.
Dalam bahasa sehari-hari yang penuh humor, orang Indonesia memang senang menyingkat sesuatu agar lebih enak diucapkan atau lebih mudah diingat. Maka, “Prajurit Coklat” pun menjadi “Parcok”, terdengar lebih lugas dan lebih bersahabat di telinga.
Sementara itu, “Wercok” diduga berasal dari plesetan “Wereng Coklat”. Istilah ini awalnya digunakan dalam konteks pertanian untuk menyebut hama wereng coklat yang sering menyerang tanaman padi.
Entah bagaimana, istilah ini kemudian disematkan kepada TNI, mungkin karena warna seragam mereka yang juga memiliki nuansa coklat kehijauan, atau mungkin karena ada kesan bahwa mereka hadir dalam jumlah banyak dan sulit dikendalikan seperti wereng di sawah.
Tentu saja, sebutan ini bukan berarti berniat merendahkan, melainkan lebih kepada cara khas rakyat dalam menamai sesuatu dengan kesan yang lebih ringan dan membumi.
Antara Sindiran dan Keakraban
Seperti halnya banyak istilah yang muncul di tengah masyarakat, “Parcok” dan “Wercok” bisa memiliki makna ganda, tergantung siapa yang mengucapkannya dan dalam konteks apa.
Di satu sisi, bisa saja istilah ini digunakan sebagai bentuk sindiran, terutama ketika masyarakat merasa kurang puas dengan kinerja aparat.
Namun, di sisi lain, istilah ini juga bisa menjadi bentuk keakraban, sebagaimana orang-orang Betawi menyebut temannya dengan “Bang Jago” atau “Begal” bukan dalam arti sebenarnya, melainkan sebagai bentuk panggilan yang sudah biasa.
Sebagai contoh, di berbagai media sosial, terutama TikTok dan Twitter, istilah “Parcok” dan “Wercok” sering digunakan dengan nada bercanda. Kadang-kadang, orang-orang memakai istilah ini saat mengomentari video polisi yang sedang mengatur lalu lintas atau tentara yang melakukan aksi sosial.
Namun, jika digunakan dalam konteks kritik terhadap tindakan aparat yang dinilai kurang baik, istilah ini bisa menjadi alat ekspresi masyarakat untuk menyampaikan ketidakpuasan mereka.
Yang menarik, para anggota TNI dan Polri sendiri tampaknya tidak terlalu mempermasalahkan sebutan ini. Banyak di antara mereka yang justru ikut-ikutan menggunakan istilah tersebut dalam interaksi sehari-hari.
Ada video viral di mana seorang polisi bercanda dengan temannya, “Hati-hati, nanti dicap Parcok, lho!” Ini menunjukkan bahwa meskipun awalnya mungkin berasal dari guyonan masyarakat, istilah ini telah diterima dengan santai oleh sebagian anggota aparat sendiri.
Budaya Pelesetan dan Identitas Kolektif
Fenomena “Parcok” dan “Wercok” ini sejatinya tidak bisa dilepaskan dari tradisi humor dan pelesetan yang sudah mendarah daging dalam budaya kita. Lihat saja bagaimana dalam dunia sepak bola, suporter sering kali punya nama khusus untuk tim lawan yang mereka ejek, tapi tetap dalam batas wajar.
Humor dan pelesetan adalah cara masyarakat mengungkapkan perasaan mereka terhadap sesuatu yang berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks TNI-Polri, tentu saja mereka adalah institusi yang sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat. Maka, tidak heran jika rakyat punya cara tersendiri untuk memanggil mereka.
Kalau kita melihat lebih jauh, penggunaan istilah semacam ini juga mencerminkan bagaimana rakyat memandang hubungan mereka dengan aparat negara. Jika hubungan ini terlalu tegang, istilah yang muncul cenderung lebih kasar dan bermuatan negatif.
Sebaliknya, jika hubungan ini cukup dekat, istilah yang muncul biasanya lebih ringan dan lebih akrab. Dalam kasus “Parcok” dan “Wercok”, tampaknya masyarakat lebih memilih jalur humor daripada jalur konfrontatif.
Reaksi Berbeda di Kalangan Aparat
Meskipun sebagian besar anggota TNI dan Polri bisa menerima istilah ini dengan santai, tidak bisa dipungkiri bahwa ada juga yang merasa kurang nyaman. Ada beberapa oknum yang mungkin menganggap istilah ini sebagai bentuk pelecehan terhadap institusi mereka.
Namun, di sinilah letak kedewasaan yang dibutuhkan dalam menyikapi budaya komunikasi di masyarakat. Jika aparat terlalu kaku dalam menanggapi istilah semacam ini, bisa jadi justru akan muncul reaksi yang lebih keras dari masyarakat.
Sebaliknya, jika aparat mampu menanggapi dengan santai dan melihatnya sebagai bagian dari dinamika sosial, maka hubungan antara masyarakat dan aparat bisa semakin cair dan harmonis.
Refleksi: Bukan Sekadar Nama, Tapi Cerminan Realitas
Pada akhirnya, “Parcok” dan “Wercok” bukan sekadar julukan iseng. Ia adalah cerminan bagaimana rakyat memandang aparatnya. Selama istilah ini masih berada dalam ranah humor dan tidak digunakan untuk tujuan yang merendahkan secara serius, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Namun, di sisi lain, aparat juga bisa melihat fenomena ini sebagai bahan refleksi. Jika istilah ini muncul dalam konteks kritik yang tajam, maka bisa jadi ada sesuatu yang perlu diperbaiki dalam hubungan antara aparat dan masyarakat.
Di negeri yang penuh dengan humor ini, segala sesuatu memang bisa menjadi bahan guyonan. Tapi jangan lupa, di balik setiap humor ada makna yang lebih dalam. Dan di balik setiap pelesetan, ada kenyataan yang sedang coba disampaikan dengan cara yang lebih ringan.
Maka, daripada sibuk mempermasalahkan julukan “Parcok” dan “Wercok”, lebih baik kita semua—baik masyarakat maupun aparat—sama-sama berusaha membangun hubungan yang lebih baik.
Karena pada akhirnya, yang lebih penting bukanlah bagaimana kita dipanggil, tetapi bagaimana kita menjalankan tugas dan peran kita dalam masyarakat.