Washington – Wacana tentang kemungkinan Amerika Serikat (AS) keluar dari NATO semakin menguat setelah beberapa pejabat di Kabinet Presiden Donald Trump, termasuk Elon Musk, menyuarakan dukungan mereka untuk langkah tersebut. Seruan ini mengejutkan dunia internasional dan memicu kekhawatiran tentang masa depan aliansi pertahanan Barat yang telah berdiri sejak 1949.
Elon Musk, dalam sebuah unggahan di media sosial X, menyatakan setuju dengan pandangan seorang komentator politik sayap kanan yang mengatakan bahwa sudah waktunya bagi AS untuk meninggalkan NATO dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dukungan terhadap gagasan ini juga datang dari beberapa anggota parlemen Republik yang mengajukan RUU tentang keluarnya AS dari PBB.
Presiden Trump telah lama mengkritik sekutu-sekutunya di NATO karena dianggap tidak memberikan kontribusi yang cukup terhadap aliansi tersebut. Ia berargumen bahwa jika Eropa ingin mendapatkan perlindungan dari AS, mereka harus menanggung beban finansial yang lebih besar. Pendekatan pragmatis ini mencerminkan fokus Trump pada penyeimbangan biaya, bukan penghancuran aliansi.
Dampak dari penarikan AS dari NATO akan terasa tidak hanya di Eropa tetapi juga di Timur Tengah, yang melibatkan pemain kunci seperti Turki. Kehilangan ini akan menjadi kerugian bagi AS, yang akan kehilangan pengaruh geopolitik, tidak hanya di Eropa tetapi juga di kawasan Eurasia yang lebih luas.
Meskipun banyak yang memandang langkah ini sebagai perubahan besar yang dapat meruntuhkan aliansi Barat, beberapa ahli militer berpendapat bahwa dampaknya mungkin tidak seburuk yang diperkirakan. Diskusi ini lebih tepat dilihat sebagai taktik tawar-menawar dalam kebijakan luar negeri AS, bukan sebagai perubahan kebijakan definitif.
Reaksi internasional terhadap kemungkinan keluarnya AS dari NATO sangat beragam. Negara-negara Eropa Timur seperti Polandia, Latvia, Lituania, Estonia, Finlandia, dan Norwegia yang berbatasan langsung dengan Rusia kemungkinan akan menghadapi kekhawatiran besar atas potensi invasi Kremlin. Di sisi lain, negara-negara sekutu AS dalam NATO justru mengkhawatirkan membaiknya hubungan Trump dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin.
Jika AS benar-benar meninggalkan NATO, Washington tidak lagi berkewajiban untuk membela sekutunya jika terjadi serangan dari Rusia atau entitas lain. Namun, negara-negara seperti Inggris, Prancis, dan Jerman tetap akan terikat oleh perjanjian tersebut dan harus merespons setiap agresi terhadap anggota NATO lainnya.
Langkah ini, jika diwujudkan, akan menjadi langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah NATO, karena belum ada anggota yang keluar sejak aliansi pertahanan itu didirikan pada 1949.