Beijing — Pemerintah China mulai menjalin komunikasi intensif dengan berbagai negara untuk membentuk front bersama menghadapi tekanan tarif yang terus ditingkatkan oleh Amerika Serikat. Langkah ini dilakukan setelah Presiden AS Donald Trump menaikkan tarif atas barang impor asal China hingga 145 persen, sebuah eskalasi tajam dalam perang dagang yang telah mengguncang pasar global.
China menolak ajakan AS untuk berunding dalam kondisi tekanan, dan memilih melawan dengan mengenakan tarif balasan sebesar 84 persen terhadap produk-produk AS. “Kami akan bertarung hingga akhir,” tegas Menteri Perdagangan China Wang Wentao dalam pernyataannya yang disiarkan kantor berita Xinhua.
Langkah Trump yang mengecualikan sebagian besar negara dari tarif baru selama 90 hari dianggap sebagai upaya mempersempit lingkup konflik dagang agar hanya terfokus pada China. Namun, dalam kenyataannya, banyak negara tampak enggan berpihak kepada China, meskipun juga merasakan dampak negatif dari kebijakan dagang AS.
“Pihak yang memperjuangkan keadilan akan mendapat banyak dukungan,” ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Lin Jian, dalam konferensi pers rutin di Beijing, Kamis waktu setempat.

10 Barang Impor Amerika dari China. (sumber AP)
Fokus pada Eropa dan ASEAN
Sebagai bagian dari upaya diplomatik, Perdana Menteri China Li Qiang menghubungi Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen untuk memperkuat kerja sama ekonomi. Sementara itu, Menteri Wang Wentao mengadakan konferensi video dengan Komisaris Perdagangan dan Keamanan Ekonomi Uni Eropa, Maroš Šefčović, guna menyuarakan keberatan terhadap “tarif timbal balik” yang diberlakukan AS.
Wang menilai kebijakan tarif tersebut melanggar aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), merusak sistem perdagangan multilateral berbasis aturan, dan mengguncang stabilitas ekonomi global. “Ini adalah tindakan sepihak, proteksionisme, dan bentuk penindasan ekonomi,” katanya.
Selain dengan Eropa, China juga menjajaki komunikasi dengan negara-negara ASEAN. Wang telah berdialog dengan perwakilan dari 10 negara anggota, sementara Li Qiang bertemu dengan sejumlah pemimpin bisnis. Pemerintah China, menurut Xinhua, telah menyiapkan kebijakan tambahan guna mengantisipasi segala kemungkinan yang muncul akibat eskalasi perang dagang.
Respons Dunia Terbelah
Meski beberapa negara menyambut baik pendekatan China, tidak semua siap untuk bergabung dalam barisan melawan Washington. Perdana Menteri Australia Anthony Albanese menegaskan bahwa negaranya memilih berdiri independen. “Kami berdiri di atas kepentingan nasional Australia,” ujar Albanese.
India juga dilaporkan menolak ajakan kerja sama dari China. Sementara itu, Rusia — yang kerap disebut sebagai mitra strategis China — justru tidak masuk dalam daftar negara yang dikenai tarif baru oleh Trump.
Di kawasan Asia Timur, Taiwan menyatakan tengah mempersiapkan negosiasi tarif dengan AS, menyusul pengenaan tarif sebesar 32 persen terhadap produk asal pulau tersebut. Taiwan, yang menjadi pemasok utama chip komputer berteknologi tinggi, tetap menjaga hubungan ekonomi yang erat dengan AS meski turut terdampak kebijakan tarif.
Negara-negara seperti Vietnam dan Kamboja menghadapi dilema besar. Di satu sisi, mereka mendapat keuntungan dari relokasi pabrik dari China, tetapi di sisi lain sangat bergantung pada pasar AS. Dengan margin keuntungan yang tipis, tarif tinggi dapat mengancam kelangsungan sektor industri mereka.

10 Barang Ekspor Utama Amerika ke China. (sumber AP)
Pasar Bereaksi Positif, Tapi Tak Merata
Kendati konflik masih berlangsung, keputusan Trump menangguhkan tarif untuk sebagian negara memicu euforia di pasar global. Indeks Nikkei di Jepang melonjak lebih dari 9 persen, sedangkan indeks DAX Jerman naik 7,5 persen. Indeks CAC 40 di Paris dan FTSE 100 London masing-masing naik 7,2 persen dan 5,4 persen.
Namun, pasar AS menunjukkan reaksi yang lebih hati-hati. Indeks masa depan S&P 500 turun 0,4 persen dan Dow Jones terkoreksi 0,2 persen. Di China, kenaikan pasar terbilang moderat karena kekhawatiran akan berlanjutnya saling balas tarif.
China memperingatkan bahwa mereka dapat menggunakan langkah-langkah non-tarif untuk menekan AS, seperti pembatasan terhadap film, firma hukum, dan sektor jasa asal AS. “Kami tidak akan tinggal diam saat hak sah rakyat China dirampas, dan tatanan perdagangan internasional dirusak,” kata Lin Jian.
Perang dagang yang awalnya melibatkan banyak negara kini tampaknya berubah menjadi duel terbuka antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia. Namun, dunia masih menanti, apakah kedua belah pihak akan mencari jalan keluar diplomatik atau terus menempuh jalan konfrontasi.