New York – Harga minyak dunia melonjak lebih dari 4 persen pada perdagangan Rabu (9/4/2025) waktu setempat, menyusul pernyataan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang mengumumkan penangguhan sementara tarif impor bagi sebagian besar negara mitra dagang. Namun, ketegangan antara AS dan Tiongkok justru semakin memanas, dengan kenaikan tarif lebih lanjut terhadap Negeri Tirai Bambu.
Harga minyak Brent untuk kontrak pengiriman terdekat ditutup naik 4,23 persen atau 2,66 dollar AS menjadi 65,48 dollar AS per barel. Sementara itu, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) naik 4,65 persen atau 2,77 dollar AS menjadi 62,35 dollar AS per barel.
Kedua jenis minyak itu sempat melemah hingga 7 persen di awal sesi perdagangan, menyentuh level terendah dalam empat tahun terakhir, sebelum akhirnya berbalik arah setelah pengumuman Trump.
Penangguhan Tarif, Tiongkok Tetap Ditekan
Trump menyatakan bahwa pemerintahannya akan memberlakukan jeda selama 90 hari atas sebagian besar tarif yang baru diumumkan pekan lalu. Namun, ia menaikkan tarif untuk barang-barang asal Tiongkok menjadi 125 persen, dari sebelumnya 104 persen yang mulai berlaku pada hari yang sama.
“Ini titik balik dalam konflik dagang,” ujar Phil Flynn, analis senior di Price Futures Group. “Trump memberikan waktu bagi negara-negara yang bersedia bernegosiasi, sementara Tiongkok semakin diisolasi secara ekonomi.”
Tiongkok pun langsung merespons dengan mengenakan tarif balasan sebesar 84 persen terhadap sejumlah barang asal AS mulai Kamis (10/4/2025). Ketegangan ini memperpanjang perang dagang yang telah menimbulkan kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi global.
Ketidakpastian Pasar Masih Tinggi
Menurut Bob Yawger, Direktur Energi Berjangka di Mizuho, pasar mulai melihat peluang kesepakatan dagang dengan beberapa negara, yang sebelumnya dijadikan sekutu oleh Tiongkok. Namun, sentimen positif tersebut belum sepenuhnya menutupi kekhawatiran jangka panjang.
“Pasar berharap ada terobosan dalam negosiasi dengan Tiongkok, tapi kenyataannya masih jauh dari selesai,” ujarnya.
Analis UBS, Giovanni Staunovo, menyatakan bahwa meskipun permintaan minyak global belum menunjukkan pelemahan, kekhawatiran terhadap prospek permintaan membuat harga cenderung fluktuatif. “Harga harus tetap rendah untuk mendorong penyesuaian pasokan agar pasar tidak kelebihan pasokan,” ujarnya.
Tekanan Tambahan dari OPEC+ dan Cadangan AS
Kenaikan harga minyak juga dibatasi oleh keputusan kelompok produsen OPEC+ pekan lalu, yang menyepakati peningkatan produksi sebesar 411.000 barel per hari mulai Mei. Langkah ini dikhawatirkan akan mendorong pasar kembali ke kondisi surplus pasokan.
Di sisi lain, Badan Informasi Energi AS (EIA) melaporkan kenaikan cadangan minyak mentah sebesar 2,6 juta barel, jauh di atas ekspektasi pasar yang memperkirakan kenaikan 1,4 juta barel.
John Kilduff, mitra di Again Capital, menilai bahwa penurunan ekspor dan potensi hilangnya akses ke pasar Tiongkok menjadi ancaman nyata. “Jika situasi ini terus memburuk, ekspor minyak AS bisa tertekan cukup dalam,” kata dia.
Masalah tambahan muncul dari Kanada, ketika sistem pipa minyak Keystone yang menghubungkan Kanada dan AS terpaksa menghentikan operasi akibat kebocoran di dekat Fort Ransom, North Dakota. Operator pipa tersebut dilaporkan mengeluarkan pemberitahuan force majeure, yang dapat mengganggu aliran pasokan di wilayah tersebut.
Dengan ketidakpastian geopolitik dan ekonomi global yang masih tinggi, harga minyak diprediksi tetap fluktuatif dalam waktu dekat, dengan arah kebijakan tarif AS menjadi penentu utama dinamika pasar.