Washington – Amerika Serikat mengusir duta besar Afrika Selatan, Ebrahim Rasool, dengan tuduhan memprovokasi isu ras dan menyebarkan kebencian terhadap Presiden Donald Trump. Langkah ini menggarisbawahi semakin memburuknya hubungan antara kedua negara.
Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, mengonfirmasikan pengusiran tersebut melalui sebuah unggahan di X pada Jumat (14/3/2025). Rubio menyebut Rasool sebagai “politikus yang memprovokasi isu ras, membenci Amerika, dan membenci @POTUS (Trump).” Menurut Rubio, langkah ini merupakan tindakan yang jarang terjadi, di mana seorang diplomat tertinggi suatu negara dilarang masuk.
Rubio juga membagikan artikel dari situs sayap kanan Breitbart yang mengutip Ebrahim Rasool menyebut Trump sebagai pemimpin supremasi kulit putih.
Ketegangan antara AS dan Afrika Selatan sudah terjadi sejak beberapa waktu lalu, terutama setelah Trump memutuskan untuk memotong bantuan keuangan AS ke Afrika Selatan. Salah satu alasan utamanya adalah kebijakan tanah yang kontroversial di Afrika Selatan, di mana pemerintah negara tersebut berencana mengambil alih tanah tanpa memberikan kompensasi.
Selain itu, perbedaan pandangan terkait kasus genosida yang diajukan Afrika Selatan terhadap sekutu AS, Israel, di Mahkamah Internasional juga semakin memperburuk hubungan.
Pihak Afrika Selatan menyatakan kekecewaannya terhadap langkah AS ini. Melalui pernyataan resmi, mereka menegaskan tetap berkomitmen untuk membangun hubungan yang saling menguntungkan dan akan menyelesaikan masalah ini melalui jalur diplomatik.
Departemen Luar Negeri AS mengungkapkan bahwa Rasool diminta meninggalkan AS paling lambat 21 Maret mendatang.
AS juga sedang meninjau kebijakannya terhadap Afrika Selatan, dengan fokus pada kebijakan tanah, hubungan yang semakin erat dengan negara-negara seperti Rusia dan Iran, serta “posisi agresif” terhadap AS dan sekutunya.
Pada Titik Terendah
“Hubungan AS-Afrika Selatan kini berada pada titik terendah,” ujar Patrick Gaspard, mantan duta besar AS untuk Afrika Selatan. Ia menambahkan bahwa terlalu banyak yang dipertaruhkan untuk tidak berupaya memperbaiki kemitraan ini.
Sementara itu, kebijakan tanah yang diterapkan Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa kembali memicu kontroversi.
Pada Januari, Ramaphosa menandatangani undang-undang yang mempermudah negara untuk mengambil alih tanah demi kepentingan publik, meskipun tidak memberikan kompensasi. Ia membela kebijakan ini sebagai langkah untuk mengurangi ketimpangan rasial dalam kepemilikan tanah, mengingat mayoritas penduduk Afrika Selatan berkulit hitam.
Namun, kebijakan ini mendapat kecaman dari berbagai pihak, termasuk Trump, yang menyebut Afrika Selatan telah “menyita tanah” dan memperlakukan “kelompok tertentu” dengan buruk.
Miliarder asal Afrika Selatan, Elon Musk, yang dikenal dekat dengan Trump, juga mengkritik kebijakan tersebut dan menyebut bahwa warga kulit putih di Afrika Selatan telah menjadi korban “hukum kepemilikan yang rasis.”
Trump juga menawarkan untuk menampung petani kulit putih Afrika Selatan dan keluarganya sebagai pengungsi di AS. Departemen Luar Negeri sedang berkoordinasi dengan Departemen Keamanan Dalam Negeri untuk memulai proses tersebut.












